Ads

Tuesday, June 25, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 018

***BACK***

Malam itu, sejak senjakala lewat bulan mulai muncul di ufuk timur. Sebuah bola kemerahan yang besar bulat muncul dari puncak bukit dan tak lama kemudian, warna kemerahan telah berganti menjadi warna kuning keemasan yang memandikan permukaan bumi dengan cahaya nya yang lembut dan sejuk.

Terdengar gamelan ditabuh. Suara gambang berselang seling dengan lengkingan suling, menjadi gembira penuh semangat oleh suara gendang yang mendetak-detak.

Malam indah itu disambut meriah sekali oleh perguruan Durgamantra. Sebuah panggung yang luas didirikan mereka untuk menjadi tempat upacara pemujaan, dihias dengan kain warna-warni dan kembang-kembang. Setelah bulan muncul, semua murid sudah berkumpul dan laki-laki perempuan mengenakan pakaian mereka yang terbaru dan terindah, juga tercium wangi-wangian dari pakaian mereka. Para anggota wanita di sudut panggung sebelah kiri sedangkan para prianya duduk di sudut panggung sebelah kanan. Di kepala panggung terdapat tiga kursi yang dihias indah, akan tetapi kursi-kursi itu masih kosong.

Penabuh gamelan duduk di bawah panggung dan dua orang pesinden yang tidak cantik namun bersuara emas duduk di antara mereka. Seluruh anggota atau murid perguruan Durgamantra yang berjumlah empatpuluh orang lebih itu berkumpul di situ dan menanti dengan sikap hormat dan khidmat. Gamelan di tabuh lirih-lirih, suaranya dibawa angin malam, menghanyutkan. Bulan sudah tersenyum di atas kepala, masih condong di timur.

Tak lama kemudian, terdengar aba-aba dari dalam rumah di belakang panggung dan gamelan dipukul lebih gencar lagi dengan lagu Kebogiro seperti gamelan yang menyambut datangnya mempelai.

Kemudian sebuah iring-iringan muncul dari dalam rumah induk dan semua murid yang tadi duduk di atas lantai panggung di sudut kiri dan kanan segera menghadap ke arah iring-iringan itu dengan hormat dan menyembah.

Yang pertama sekali adalah Sang Wiku Syiwakirana, berjalan di depan dengan langkah tegap dan sikap gagah. Di belakangnya nampak sebuah joli yang indah dan dirias meriah, dipikul oleh enam orang gadis berpakaian sutera putih yang panjang sampai menutupi kaki. Di belakang joli ini berjalan Joko Kolomurti bersama Niken yang mendapat kehormatan untuk keluar bersama iring-iringan itu sebagai seorang tamu agung. Dan di belakang dua orang muda itu berjalan selosin pemuda yang bertelanjang dada, diikuti oleh selosin gadis bertapih pinjung yang rata-rata masih muda dan cantik.

Iring-iringan berhenti di depan tiga buah kursi, dan Joko Kolomurti berkata kepada ayahnya dengan sikap hormat,

“Kanjeng Romo, kita lupa menyediakan sebuah kursi untuk diajeng Niken.”

Gadis itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan diajeng itu, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang sungguh-sungguh, iapun menganggap bahwa perubahan sebutan itu disesuaakan dengan upacara yng khidmat itu.

“Benar, suruh ambil sebuah kursi lagi.” kata Sang Wiku dan seorang murid laki-laki yang mengikuti di belakang lalu cepat mengambil sebuah kursi diletakkan di samping kursi paling kiri.

Melihat ini, Niken merasa tidak enak sekali. Ia memang berterima kasih kepada keluarga itu, apalagi sudah mendapat keterangan yng berharga tentang Tilam Upih dan kalau malam ini ia menyaksikan malam perayaan upacara pemujaan Bathari Durgo, adalah untuk menyatakan terima kasihnya. Akan tetapi ia merasa sungkan diperlakukan sebagai tamu agung. Bagaimanapun juga, tentu saja ia tidak berani membantah.

Kini Sang Wiku sendiri menghampiri joli dan membuka tirai joli. Niken terbelalak kagum. Kiranya di dalm joli itu terdapat sebuah patung emas seorang wanita dalam keadaan duduk. Inikah patung Sang Bathari Durgo? Cantik nian! Padahal, menurut yang pernah didengarnya, Sang Bathara Durgo telah dikutuk dan berupa seorang puteri berwajah raksasa wanita! Sang Wiku sendiri yang memondong patung itu lalu didudukkan di atas kursi paling kanan. Kemudian dia duduk di atas kursi sebelah kiri patung itu.

Joko Kolomurti berkata kepada Niken. “Diajeng Niken,silakan duduk.”

Dia sendiri duduk di sebelah kiri ayahnya dan karena kursi yang tersisa tinggal disebelah kirinya,
Niken lalu duduk di atas kursi itu.

Semua murid melakukan penghormatan dengan menyembah. Akan tetapi sembah mereka itu nampak aneh oleh Niken. Mereka menyembah sampai tubuh atas mereka mennelungkup, tiarap rata dengan lantai panggung dan dari kerongkongan mereka keluar suara memanjang seperti orang menggerang. Sang Wiku Syiwakirana lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa pesta pemujaan dimulai.

Gamelan masih ditabuh dengan meriah.

Dua orang berpakaian sutera putih maju membawa seekor ayam bulu putih mulus, dan seorang pemuda berkain putih bertelanjang dada juga ikut, membawa sebuah bokor emas dan sebuah guci. Mereka bertiga berlutut di depan Sang Wiku. Pemuda itu lalu menyerahkan guci kepada sang wiku yang segera membuka tutup guci dan menuangkan isinya kedalam bokor. Nampak cairan berwarna merah dan bau anggur yang harum memenuhi panggung. Niken juga mencium bau anggur ini, bau yang asing baginya, akan tetapi bukan tidak menyenangkan. Setelah bokor itu penuh, pemuda itu menerima lagi guci dan meletakkan di samping patung, kemudian dua orang gadis berpakaian putih mendekatkan ayam bulu putih di depan kaki Sang Wiku. Sang Wiku mencabut sebilah pisau belati dari pinggangnya, kemudian mulutnya membaca mantra yang aneh dan panjang sambil memejamkan kedua matanya. Lalu dia bangkit, mengikuti dua orang gadis yang kini membawa ayam bulu putih di depan patung. Juga pemuda itu membawa bokor dan meletakkannya di depan kaki patung. Sang Wiku lalu menggerakkan pisaunya menyembelih leher ayam putih. Ayam itu menggelepar dalam pegangan dua orang gadis dan darahnya mengucur ke dalam bokor berisi anggur. Karena ayam itu berbulu putih mulus, maka darahnya nampak nyata sekali ketika mengucur sampai menetes-netes ke dalam bokor. Setelah darah itu tuntas, ayam berhenti menggelempar, dua orang gadis menyembah lalu turun dari panggung membawa bangkai ayam. Pemuda itupun mengikuti mereka, meninggalkan guci dan setumpuk cawan di dekat patung emas.

Joko Kolomurti lalu bangkit, menuangkan anggur dari bokor ke dalam secawan dan dengan sikap hormat menyerahkan kepada ayahnya, Sang Wiku menerimanya, lalu bangkit menghampiri patung emas, membaca mantra lalu mendekatkan cawan kesepasang bibir emas yang indah itu.

Semua murid memandang tanpa berkedip dan menahan napas. Niken yang tidak mengerti juga memandang dengan hati merasa geli. Bagaimana mungkin sebuah patung disuguhi minuman anggur? Akan tetapi iapun terbelalak ketika anggur di dalam cawan itu dituangkan sampai habis! Secawan anggur habis diminum sebuah patung! Ia hampir tidak percaya dan berkedip-kedip, dan melihat patung itu seolah-olah tersenyum dan menggerakkan biji matanya.

Setelah Sang Wiku kembali duduk, Joko Kolomurti kembali menuangkan anggur dari bokor ke dalam sebuah cawan lain, lalu dengan sikap hormat menghaturkan secawan anggur itu kepada ayahnya. Sang Wiku menerima sambil tersenyum menganguk, dan minum habis anggur dari cawan itu.

Kini Joko Kolomurti menghampiri Niken.

“Diajeng Niken, kami harap andika sudi menerima dan minum secawan anggur untuk menghormati Ibunda Bathari.” Katanya dengan sikap ramah dan hormat.

Wajah Niken menjadi merah. Ia merasa sungkan untuk menolak, akan tetapi juga ia muak dan tidak sampai hati minum anggur yang sudah dicampuri darah ayam itu.

“Maaf, Joko........aku....aku tidak dapat minum darah ayam itu....” katanya lirih agar jangan sampai menyinggung keluarga perguruan itu.

“Kenapa engkau begitu bodoh, Joko?” tentu saja Niken tidak bisa minum anggur ini. Ia bukan anggota kita dan tidak biasa minum anggur ini. Suruh ambil guci anggur kecil dalam kamarku. Itu anggur madu istimewa yang baik sekali untuk diminum Niken.”

Joko lalu menyuruh seorang gadis yang duduk di sudut untuk mengambilkan guci anggur itu. Setelah guci anggur itu di bawa dan diserahkan kepada Joko, pemuda ini lalu menuangkan isinya ke dalam sebuah cawan. Anggur inipun merah dan berabau harum, dan Joko menyerahkan kepadanya sambil berkata.

“Aku menyambutmu dengan secawan anggur, diajeng. Harap engkau sudi meminumnya.”

Tentu saja Niken merasa tidak enak untuk menolak, akan tetapi sebelum ia menerimanya. Sang Wiku cepat berkata, “Joko, bawa cawan itu ke sini. Aku akan memberkatinya demi kesehatan dan keselamatan Niken.”

Joko menyerahkan cawan itu kepada ayahnya yang lalu membaca mantra sambil menatap cawan itu. Barulah cawan diserahkan kepada Niken. Niken menerimnya dan mencoba dulu mencicipi anggur. Ternyata harum dan manis. Maka ia terus minum anggur yang hanya secawan kecil itu dan selain rasanya enak, juga terasa hangat dan nyaman di perut. Tentu saja minuman itu menghangatkan perut karena sebetulnya itu adalah minuman keras yang terbuat dari tuak dicampur dengan madu.

“Joko, tuangkan secawan lagi. Aku harus menghormati tamu kita!” kata sang Wiku yang nampak gembira.

Joko menuangkan lagi secawan dan menyerahkannya kepada Sang Wiku, yang segera memberikannya kepada Niken sambil berkata, “Akupun ingin menghormatimu dengan secawan anggur ini, Niken. Harap engkau tidak keberatan untuk meminumnya.”

Karena ternyata minuman itu tidak merugikannya, dan secawan itu hanya sedikit saja, Niken tidak berani menolak, meneriam cawan itu dan meminumnya.

Joko sendiri lalu minum dari bokor, yaitu anggur yang sudah bercampur darah ayam. Gamelan ditabuh gencar mengiringai nyanyian para pesinden.

Niken mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa gembira bukan main. Tubuhnya terasa ringan seperti hendak melayang-layang dan segala sesuatu di depan dan sekelilingnya nampak indah menggembirakan. Ia merasa berbahagia dan semua wajah di situ nampak tersenyum ramah kepadanya. Tanpa disadarinya lagi, mendengar tembang yang dinyanyikan para pesinden, iapun bersenandung. Tembang itu dikenalnya dan ia sendiri memang pandai bertembang. Dari sampingnya, Joko meliriknya dan pemuda ini nampak gembira bukan main.

Wiku Syiwakirana bertepuk tangan tiga kali. Bunyi gamelan berubah. Kini agak asing karena terdengar aneh bagi telinga Niken, namun harus diakui bahwa gending ini meriah dan gembira sekali, terutama kendangnya yang bertingkah genit. Dan para murid yang tadi duduk di kedua sudut panggung, turun meninggalkan panggung. Akan tetapi duabelas pasang muda mudi yang mengenakan pakaian putih, mulai menari-nari dengan lemah gemulai dan indah!

Aneh sekali terjadi pada diri Niken. Ia menonton tari-tarian itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. Baginya saat itu, tarian itu demikian indahnya, bagaikan selosin dewi sedang menari dengan selosin dewa! Dan bunyi gamelan yang asing itu begitu menghanyutkan dan seolah menyusup ke dalam seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya bergerak-gerak sendiri menurutkan irama kendang.

Melihat ini, Joko lalu menuangkan anggur dari guci kecil itu sampai tiga kali lagi dan disuguhkan kepada Niken yang meminumnya dengan gembira.

Malam semakin larut dan suara gamelan ditabuh semakin gencar. Kini iramanya cepat dan tari-tarian duabelas pasang penari itu menjadi semakin cepat pula. Tanpa disadari oleh Niken, tari-tarian mereka mengarah kepada gerakan-gerakan mesum, tubuh berlenggang lenggok memikat dan pandang mata serta senyum mereka mulai genit. Sang Wiku memberi tanda dan sepasang demi sepasang dari para penari itu menunda tarian mereka untuk minum secawan anggur bercampur darah ayam. Begitu minum anggur itu, pasangan ini menari dengan mesum, berpelukan dan berciuman sambil menari! Sisa anggur itu kemudian dibagi para anggota sehingga semua anggota kebagian minum.

Joko bangkit dari duduknya,menghampiri Niken dan memgang tangannya.

“Diajeng, mari kita menari!”

Ia menarik tangan Niken dan gadis ini hanya tertawa kecil, bangkit dan terhuyung-huyung akan tetapi ia mencoba untuk menari. Akan tetapi, ia mulai merasa pening, kepeningan yang terasa nikmat dan akhirnya karena terhuyung hampir jatuh, Joko merangkulnya dan menuntunnya masuk kedalam rumah. Wiku Syiwakirana tertawa bergelak melihat betapa puteranya telah berhasil membawa Niken masuk dan iapun melanjutkan pesta pora itu karena biasanya, setiap bulan purnama pesta itu dirayakan semalam suntuk sampai bulan tidak lagi nampak di angkasa.

Sambil bertembang lirih, Niken di papah Joko ke dalam kamarnya. Ia membiarkan saja dirinya dirangkul ketat dan dibawa masuk kedalam kamar pemuda itu.

“Eh.......Joko.....ini di mana? Kamar indah sekali......”

“Ini kamarku, Niken.”

Biarpun kepalanya pening dan ia sudah mabuk, namun Niken masih juga mendengar bahwa ia berada di kamar pemuda itu.

“Kenapa di kamarmu, Joko? Aku...........aku ingin tidur, akan tetapi di kamarku sendiri.......aku.......aku mau keluar saja.......”

Akan tetapi Joko merangkulnya kuat-kuat. “Tidurlah saja di sini, Niken. Kamar ini indah bukan? Dan aku mencintaimu, diajeng. Engkau akan menjadi isteriku....”

Joko merangkul dan hendak menciumnya. Akan tetapi Niken masih dapat meronta. Ia merasa dirinya seperti dibakar dari dalam, karena sesungguhnya ia telah minum ramuan racun perangsang yang sudah dicampur kedalam tuak tadi. Ia merasa senang dalam rangkulan pemuda itu dan ada dorongan gairah dalam dirinya untuk menyerah dalam kenikmatan. Akan tetapi gemblengan batin yang selama ini diterimanya dari gurunya demikian kuatnya, membuat jiwanya meronta.

“Tidak.........tidak..........aku.......aku mengantuk, hendak tidur...........!” Ia terhuyung.

Joko menyambar lengannya dan mendorongnya sehingga gadis itu terpelanting jatuh ke atas pembaringan. Begitu rebah, Niken lalu menggumam.

“Ah, senang sekali dapat tidur.....nyaman sekali........” Dan iapun tertidur!

Sama sekali Niken tidak pernah mimpi bahwa ia telah terjatuh ke dalam cengkeraman pria yang lebih keji daripada seekor srigala kelaparan. Memang sama sekali tidak akan ada yang menyangka bahwa Joko Kolomurti yang kelihatan demikian tampan gagah dan halus, demikian ramah dan hormat, hanyalah srigala bertopeng domba. Kini dia menghampiri pembaringan, matanya seperti mencorong, mulutnya basah dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor srigala kelaparan mencium darah daging kelinci yang lunak dan hangat. Sudah terasa dalam mulutnya betapa nikmat dan lezatnya rasa daging itu.

Hampir semua orang di dunia ini tak dapat dinilai dari keadaan luarnya, karena kita semua sudah terbiasa mengenakan topeng di depan muka kita. Dan kitapun mudah sekali terkecoh oleh topeng-topeng yang menutupi wajah-wajah orang lain. Topeng yang menggambarkan keadaan wajah yang sama sekali berbeda, bahkan kadang berlawanan, dengan keadaan batin. Kehidupan manusia sudah bergelimang kepalsuan. Karena itu, tidak mengherankan kalau Niken juga tertipu oleh keadaan lahiriah Joko Kolomurti.

Sebetulnya, perguruan macam apakah Durgomantra itu dan orang-orang macam apakah Sang Wiku Syiwakirana dan puteranya? Wiku Syiwakirana sejak masih muda merupakan seorang penyembah dan pemuja Sang Batari Durgo dan batara Syiwa. Dia pernah memperdalam ilmu-ilmunya ke negeri Cola dan di negeri itulah dia mulai menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa dan isterinya, yaitu Batari Durgo. Dia bahkan mengubah namanya menjadi Wiku Syiwakirana dan menganggap dirinya sebagai titisan Batara Syiwa. Dengan sendirinya dia menganggap bahwa isterinya yang sejati adalah Batari Durgo. Karena Batari Durgo tidak atau belum ada titisannya menurut pendapatnya, maka dia membuat sebuah arca Durgo dari tembaga berlapis emas sebesar manusia dan diapun mendirikan perguruan Durgomantra untuk memuja dan menyembah Batari Durgo.

Sebelum menjadi Wiku Syiwakirana, dia telah beristeri dan mempunyai seorang putera. Ketika anaknya terlahir, Wiku Syiwakirana menganggap puteranya itu putera Batari Durgo dan memberi nama Joko Kolomurti sebagai titisan Batara Kolo! Dan untuk melengkapi pemujaannya kepada Batari Durgo, dia secara diam-diam telah meracuni isterinya sendiri, ibu kandung Joko Kolomurti! Semenjak itu, dia tidak lagi beristeri, akan tetapi dia dapat mengambil gadis-gadis muda sebagai dayang atau selir sambil menanti munculnya “titisan” Batara Durgo untuk dijadikan isterinya. Kepada puteranya, Joko Kolomurti selalu ditekankan bahwa ibunya yang sejati adalah Batari Durgo yang patungnya disembah-sembah.

Biarpun kepercayaan yang dianut itu membuat Wiku Syiwakirana seperti orang gila sehingga dia membunuh isterinya sendiri, namun dia bukanlah seorang yang lemah. Dia telah mempelajari berbagai ilmu dari negeri Cola, bahkan dia pandai pula menggunakan ilmu sihir dan racun-racun pembius sampai pembunuh. Dalam bimbingan seorang ayah tanpa ibu seperti itu, Joko Kolomurti menjadi besar dalam keadaan seperti tidak waras pula. Dia selau menganggap dirinya Sang Batara Kolo, atau titisannya . Akan tetapi karena diapun mempelajari kebudayaan yang diberikan guru-guru yang dipanggil ayahnya, dia menjadi seorang pemuda yang nampak lemah lembut dan sopan santun. Justeru keadaannya ini yang membuat dia lebih berbahaya dari ayahnya, karena pada lahirnya dia nampak sebagai seorang pendekar muda yang baik hati. Selain menguasai kebudayaan Joko Kolomurti juga mewarisi ilmu kedigdayaan dari ayahnya.

Seperti telah dibuktikan dengan peristiwa tadi ketika seorang pemuda memimpin warga dusun yang menuntut dibebaskannya anak-anak mereka, terutama anak-anak gadis mereka, biarpun tidak waras, ayah dari penyembah Batara Durgo itu ternyata cerdik sekali. Para murid itu sudah berada di bawah kekuasaan mereka. Dengan kekuatan sihir dan racun mereka itu telah menyerahkan segala-galanya kepada ayah dan anak itu. Bahkan banyak warga dusun yang kaya rela menyumbangkan harta mereka karena percaya bahwa Wiku Syiwakirana dapat menolong mereka dari kesulitan apa saja. Sang Wiku ini terkenal sebagai seorang “dukun” yang serba bisa dan pandai. Karena itu, hampir semua dusun di sekitar daerah itu merasa takut dan taat kepadanya. Kalau puluhan warga dusun itu berani menuntut agar anak-anak gadis mereka dibebaskan, hal itu adalah karena munculnnya seorang pemuda yang memimpin mereka.

Niken Sasi bermimpi buruk sekali. Ia merasa seperti tenggelam dan hanyut ke dalam sungai yang airnya deras sekali. Ia terseret arus sungai itu dan berusah sekuat untuk menggerakkan kaki tangannya agar tidak sampai tenggelam tiba-tiba seekor buaya menerkamnya. Niken meronta dan berusaha melepaskan diri dari terkaman buaya itu namun sia-sia karena tenaganya terasa lemah. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya berada dalam pelukan seorang pemuda tampan. Joko Kolomurti !

Ia merasakan sesuatu yang amat luar biasa. Entah mengapa, ia merasa senang sekali berada dalam pelukan pemuda itu. Akan tetapi, biarpun kesadarannya mengambang dan terasa jauh dan hanya lapat-lapat saja, namun kesadaran itu masih mengingatkan ia bahwa hal ini tidaklah patut, tidaklah benar ia harus mencegah, harus menolak!

Ketika merasa betapa gadis yang dipeluknya itu meronta, Joko berbisik di dekat telinga Niken.

“Diajeng, aku cinta padamu........,engkau adalah isteriku tersayang......”

Alangkah merdunya suara dan kata-kata itu, amat menyenangkan hatinya. Akan tetapi biarpun lemah Niken membantah,

“Tidak.....,aku tidak mau........! Lepaskan aku......!” Akan tetapi ia hanya meronta lemah dan agaknya sudah tidak ada kekuatan dan cara untuk menghindarkan diri dari ancaman malapetaka yang dapat menimpa diri seorang gadis.

Pada saat yang gawat bagi keselamatan dara yang kehormatannya terancam itu, berkelebat bayangan orang yang tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Melihat Niken yang meronta-ronta dalam rangkulan Joko Kolomurti, pemuda itu membentak ,

“Manusia berhati iblis! Lepaskan gadis itu!”

Dan sekali sambar, lengan Joko sudah dipegangnya dan ketika dia menarik, tubuh Joko tertarik dan pelukannya terlepas dari tubuh Niken. Dengan bingung Niken bangkit dengan lemah, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan dan rambutnya yang terlepas sanggulnya dan hanya memandang kepada pemuda itu yang kini sudah berhadapan dengan Joko.

Ketika Joko merasa dirinya ditarik orang sampai terlepas dari pelukannya, dia marah bukan main. Cepat dia membalik dan ketika melihat siapa orang yang menariknya, kemarahannya meningkat, akan tetapi juga bercampur perasaan jerih ketika dia mengenal bahwa pemuda itu adalah pemuda sakti yang siang tadi memimpin warga dusun menyerbu Durgomantra. Kemarahan dan rasa takut membuat dia menjadi nekat.

“Tolooooooonnggg...........! Maliinggg......!” Dia berteriak nyaring dan cepat menghunus kerisnya dan menubruk, menyerang ke arah pemuda itu dengan dahsyatnya.

Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali pemuda itu dapat menghindar ke kiri dan sekali tangannya menangkis pergelangan tangan Joko yang memegang keris, keris itupun telepas dari pegangan dan Joko mengeluh karena lengannya seperti dipukul sepotong besi. Dan pada saat itu, kaki pemuda itu sudah menyambar. Joko menangkis dengan tangannnya, akan tetapi tetap saja.Tangan dan tubuhnya menerima tendangan yang amat dahsyat, yang menyebabkan tubuh Joko terpental dan menabrak dinding lalu jatuh pingsan! Demikian hebatnya tendangan pemuda itu yang agaknya sudah marah sekali melihat perbuatan Joko tadi.

Akan tetapi pada saat itu, puluhan orang anggota Durgamantra sudah tiba di luar kamar itu dan pintu ditendang dari luar. Muncullah Wiku Syiwakirana sendiri bersama puluhan orang muridnya. Matanya yang besar dan mencorong itu mengamati keadaan dalam kamar puteranya yang diterangi lampu dinding dan melihat puteranya telentang di susdut dalam keadaan pingsan, dia marah bukan main. Kemarahannya memuncak ketika dia mengenal pemuda yang berdiri di dalam kamar itu sebagai pemuda pengacau yang siang tadi memimpin warga dusun.

“Tangkap gadis itu dan bunuh pemuda ini!” bentaknya.

Para muridnya menyerbu dengan senjata di tangan. Ada yang membawa keris, adapula yang membawa golok atau tombak. Melihat ini dan mengingat bahwa dara yang ditolongnya itu masih berada dalam keadaan tidak berdaya, pemuda itu lalu menyambar Niken lalu membawanya meloncat. Tubuhnya melayang diatas kepala para penyerbu itu dan tiba di luar pintu. Ketika Wiku Syiwakirana hendak mencegahnya dengan pukulan tangan kanan yang dahsyat, pemuda itu yang kini memondong tubuh Niken dengan lengan kiri menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga dan akibatnya, Wiku Syiwakirana terpental jauh ke belakang. Semua muridnya terkejut dan tertegun, kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda itu untuk meloncat dan menghilang dalam kegelapan malam yang diakibatkan oleh mendung yang tiba-tiba menghalangi sinar bulan purnama. Siapakah pemuda yang memiliki kesaktian hebat itu sehingga dengan mudah dia mampu mengalahkan Joko Kolomurti dan Wiku Syiwakirana?

Dia adalah Budhidharma. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah mempelajari ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari gurunya, Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi, Budhi disuruh turun gunung oleh gurunya. Dia mendapat tugas untuk mencari Tilam Upih, kemudian baru dia akan mengunjungi Gunung Anjasmoro, mencari perkumpulan Gagak Seto dan menemui ketua Gagak Seto untuk menuntut penjelasan mengapa Gagak Seto membunuh ayah ibunya. Ketika melakukan perjalanan ke selatan, dengan tujuan pantai Laut Kidul untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih, tibalah dia di kaki bukit Girimanik. Dan di dusun di kaki bukit itulah dia melihat banyak orang bersedih hati dan ketika dia bertanya, mereka menceritakan bahwa anak-anak mereka, terutama gadis-gadis cantik, tidak mau pulang ke rumah dan menjadi anggota perguruan yang dianamakan Durgomantra di Girimanik.

Setelah mendapat keterangan dengan jelas, Budhi lalu menghimpun para warga dusun yang memiliki anak-anak yang tidak mau pulang itu beramai-ramai mereka mengunjungi Girimanik. Dan seperti sudah diceritakan di bagian depan, Budhi mengajak para warga dusun itu untuk mendatangi Durgomantra dan menuntut dikembalikannya anak-anak mereka. Akan tetapi, dengan terkejut sekali Budhi dihadapi dan dilawan Niken yang membela pihak Durgomantra! Dia amat terkejut dan heran melihat adanya seorang gadis yang demikian digdaya membela perkumpulan sesat itu. Dari sikap dan kata-kat gadis itu, maklumlah dia bahwa gadis itu telah tertipu dan menganggap perkumpulan Durgomantra sebuah perguruan yang baik. Inilah yang menyebabkan dia mengajak para warga dusun untuk mundur. Dia sendiri lalu melakukan penyelidikan karena khawatir bahwa gadis perkasa itu di bawah pengaruh pemimpin Durgomantra seperti halnya para gadis puteri warga dusun. Dan kebetulan malam itu diadakan malam pesta pemujaan Sang Bathari Durgo.

Budhi mengintai dan melihat pula betapa Niken seperti orang mabok dan digandeng oleh Joko Kolomurti ke dalam rumah. Dia mendapat parasaan tidak enak, maka dengan mempergunakan kepandaiannya, dia menyelinap masuk ke dalam rumah itu dan membayangi Joko Kolomurti. Demikianlah, akhirnya dia dapat menyelamatkan Niken yang nyaris menjadi korban kekejian Joko Kolomurti.

Niken mengeluh dan merintih lirih ketika Budhi melepaskannya dari pondongan dan merebahkannya di atas rumput tebal di bawah pohon besar.

“Ahh.........badanku panas........ahhh, mengantuk sekali dan lemas........” keluh gadis itu dengan gelisah.

Budhi maklum bahwa gadis itu terpengaruh oleh minuman yang mengandung racun pembius dan mungkin perangsang, ditambah lagi pengaruh sihir yang membuat pikirannya menjadi gelap dan keasadarannya lenyap.

Dia lalu duduk bersila dekat Niken, bersedekap mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir pengaruh sihir yang menguasai pikiran Niken. Juga dia mengerahkan kekuatan pikirannya untuk mempengaruhi Niken agar tertidur. Dia yakin bahwa pengaruh racun itu akan lenyap dengan sendirinya setelah beberapa waktu dan jalan satu-satunya yang terbaik bagi gadis itu adalah dapat tidur pulas. Usahanya berhasil. Niken dapat tidur pulas di atas rumput yang lunak. Budhi tetap duduk bersila di dekatnya sampai malam itu terlewat.

Setelah matahari pagi mulai membakar ufuk timur dengan cahayanya yang kemerahan dan daun-daun pohon mulai nampak, Budhi sadar dari samadhinya. Dia mendengar suara gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya. Gadis itu terbelalak seperti orang kaget, lalu bangkit duduk, agak menggigil kedinginan karena tubuhnya sudah basah oleh embun, kemudian ia menoleh ke kiri dan melihat Budhi duduk bersila di dekatnya.

“Ihhhhh.....!” Ia menjerit kecil dan meloncat berdiri bagaikan disengat kalajengking, dan berdiri dalam keadaan siap. Ia mengingat-ingat dan melihat letak pakaiannya dengan khawatir. Masih lengkap, dan ia bernapas lega. Budhi juga bangkit berdiri, mamandang gadis itu dengan tenang.

Kini Niken sudah sadar sepenuhnya. Ia teringat bahwa ia ikut merayakan pesta yang meriah. Lalu tidak ingat apa-apa lagi. Kenapa tahu-tahu ia berada di sini, tidur di atas rumput dan pemuda itu berada di dekatnya? Pemuda itu! Tentu saja ia teringat. Pemuda itu adalah pemuda yang memimpin warga dusun menyerbu ke Durgomantra! Dan pemuda itu yang berani dan mampu menahan pukulan aji Hasta Bajra! Tentu pemuda ini telah menculiknya dari perguruan Durgamantra selagi ia tertidur.

“Jahanam! Sungguh jahat engkau !” bentaknya dan karena ia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh serta merta ia menyerang dengan aji Hasta Bajra yang amat ampuh. Kemarahan dan sangkaan buruk membuat ia menyerang dengan dahsyat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

Budhidharma telah siap siaga. Dia memang telah menduga dan memperhitungkan sikap Niken ini yang tidak percaya kepadanya, maka begitu diserang, dia telah dapat berkelebat dan mengelak sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong.

Sebelum Niken menyerang lagi. Budhidharma melompat ke belakang dan berseru dengan suara berwibawa, “Tahan dulu! Andika terburu nafsu dan salah sangka. Aku bukanlah musuhmu, bahkan telah membebaskanmu dari cengkeraman iblis yang amat keji! Andika memang seorang dara yang gagah perkasa, akan tetapi jelas kurang pengalaman sehingga mudah saja terpengaruh oleh pimpinan Durgomantra yang menggunakan ilmu sihir dan racun!”

Niken menahan gerakan serangannya dan tertegun. “Apa kau bilang? Engkaulah yang jahat, menghasut warga dusun untuk minta anak-anak mereka dibebaskan. Padahal, anak-anak mereka yang telah menjadi murid Durgomantra itu hidup bahagia dan mereka menjadi murid atas kehendak sendiri. Jangan kau membohongi aku!”

“Aku sama sekali tidak berbohong. Andika agaknya belum tahu orang-orang macam apakah Wiku Syiwakirana dan puteranya yang bernama Joko Kolomurti itu! Gadisgadis itu telah disihir dan dibius, dan andika sendiri tadipun dibius dengan minuman keras dan sihir sehingga hampir saja ternoda oleh Joko Kolomurti. Aku datang menghalangi perbuatan terkutuknya. Mereka itu pemuja Bathari Durgo dan mereka tidak pantang melakukan segala perbuatan busuk.”

Niken mulai ragu. Pemuda ini kelihatan memang tidak jahat, akan tetapi mengapa duduk bersila di dekat ia yang sedang tidur di situ?

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 019

***BACK***

No comments:

Post a Comment