Ads

Thursday, June 20, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 008

***BACK***

“Celaka! Kalau begitu, kita harus cepat turun tangan, kakang Klabangkoro sebelum terlambat! ” kata Mayangmurko ketika mendengar bahwa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua menggantikan Ki Sudibyo.

“Tenang dan sabarlah, adi. Kita harus mengatur rencana serapi mungkin agar siasat kita jangan sampai gagal. Kebetulan sekali bocah itu mendapat tugas mencari Keris Pusaka Tilam Upih. Bapa Guru tentu mempunyai alasan kuat mengapa dia mempercaya bocah itu untuk mencari pusaka yang diperebutkan semua orang gagah itu. Dan karena itu amat amapuh, sungguh menguntungkan sekali kita bisa mendapatkannya, maka kita pergunakan kesempatan ini untuk keuntungan kita.”

“Wah, memiliki pusaka Tilam Upih sungguh berbahaya, kakang. Pusaka itu milik kerajaan Daha dan kalau kita mendapatkannya, tentu kita akan berhadapan dengan kerajaan Daha. Berbahaya sekali! ”

“Ha-ha-ha, kalau pusaka itu sudah berada di tangan kita, mudah saja nanti mencari jalan terbaik. Kalau mungkin kita miliki, kalau tidak mungkin, kita dapat mengembalikan kepada kerajaan dan memperoleh imbalan jasa besar. Dan semua itu akan kita dapatkan tanpa susah payah. Biarlah Niken Sasi mencarikan dan mendapatkan untuk kita. Ha-ha-ha! ”

“Wah, kakang Klabangkoro. Itu siasat yang bagus sekali! Jadi kita tidak langsung turun tangan, akan tetapi menanti sampai bocah itu mendapatkan pusaka Tilam Upih?”

Untuk itu kita mesti minta bantuan gerombolan Jambuka Sakti. Karena tanpa bantuan mereka, bagaimana mungkin kita dapat membayangi perjalanan Niken Sasi? ”

“Dan bagaimana dengan Bapa Guru? ”

“Kebetulan sekali Niken Sasi akan pergi. Siapa tahu ia memiliki kepandaian tangguh dan ia tentu akan membela gurunya. Nah, kita tunggu sampai ia pergi, lalu kita paksa Bapa Guru untuk menuliskan ilmu Hasta Bajra.”

“Kalau dia menolak? ”

“Hemm, untuk melawanpun dia tidak mampu.”

“Tapi, kakang. Baru siang tadi dia berlatih Hasta Bajra dengan hebatnya di ruangan itu! ” kata Mayangmurko gentar.

“Jangan percaya! Mungkin dia dan Niken Sasi berlatih. Kalu Bapa Guru sudah menyuruh bocah itu mencari pusaka, hal itu dapat dipastiakn berarti bahwa Niken Sasi telah memiliki kepandaian yang tinggi. Bpa Guru sendiri masih lemah, apakah yang dapat dia lakukan terhadap tekanan kita? ”

“Akan tetapi pekerjaan ini berat dan berbahaya. Sebaiknya kalu kita pergi menemui Ki Brotokeling dan membicarakannya dengan dia. Tanpa bantuan Jambuka Sakti, aku khawatir kita gagal.”kata Mayangmurko.

“Baik, marilah malam ini juga kita berkunjung ke sana.” kata Ki Klabangkoro dan kedua orang itu lalu menyusup dalam kegelapan malam.

Mereka tidak perlu pergi ke lereng Gunung Bromo tempat asal Jambuka Sakti, karena pada waktu itu, ketuanya, Brotokeling sedang berada di sebuah hutan di kaki gunung Anjasmoro. Ki Brotokeling mempunyai cita-cita yang besar, yaitu dia ingin menjadi datuk atau penguasa dari Panca-Giri ( lima Gunung ). Kalau cita-citanya berhasil, dengan menundukkan gerombolan-gerombolan yang berkuasa di lima gunung itu, maka dia akan menjadi kepala dari para gerombolan di Gunung Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna, dan Anjasmoro! Dan kini dia sedang melakukan penjajagan, maka dia turun dari Bromo dan sementara berada di kaki gunung Anjasmoro. Di sini dia mengadakan sekutu dengan Ki Klabangkoro dan Mayangmurko yang berkeinginan menguasai Gagak Seto.

Demikianlah, Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko hanya memerlukan waktu setengah malam saja untuk sampai di tempat kediaman sementara Ki Brotokeling, di kaki gunung Anjasmoro, dalam sebuah hutan lebat.

Hutan di kaki gunung Anjasmoro yang dijadikan tempat tinggal sementara gerombolan Jembuka Sakti itu kelihatan sepi saja, seolah tidak ada penghuninya. Akan tetapi sesungguhnya di jantung hutan itu terdapat bangunan-bangunan pondok darurat yang merupakan perkampungan kecil. Gerombolan itu terdiri kurang lebih seratus orang, dipimpin sendiri oleh Jambuka Sakti setelah selama beberapa tahun dia menyebar para pembantunya untuk menyelidiki keadaan lima buah gunung yang akan ditaklukannya itu.

Andaikata Ki Sudibyo masih kuat dan sehat seperti dahulu dan masih memegang sendiri kendali perkumpulannya, jangan harap bagi Jembuka Sakti untuk bermukim di hutan itu. Seluruh daerah pegunungan Anjasmoro sudah berada di bawah pengawasan dan kekuasaan perkumpualan Gagak Seto. Akan tetapi, kini yang berkuasa adalah Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko, dan mereka inilah yang memperkenankan gerombolan Jembuka Sakti tinggal di situ karena memang mereka bersekutu dengan perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat itu.

Ki Brotokeling, ketua Jembuka Sakti, menjanjikan kepada Ki Klabangkoro untuk membantu sehingga Klabangkoro dapat merebut kedudukan ketua Gagak Seto sedangkan sebaliknya Klabangkoro menyatakan dukungannya kepada Jambuka Sakti untuk menjagoi Panca-giri.

Setelah tiba di dalam hutan, kedua orang pimpinan Gagak Seto itu, tidak berani lancang melanjutkan perjalanan karena mereka tahu bahwa mereka telah tiba di wilayah tempat persembunyian perkumpulan Jambuka Sakti. Ki Klabangkoro lalu membuka mulutnya dan dari kerongkongannya terdengarlah suara parau seperti suara seekor burung gagak.

“Kraaaaakkk.........kraaaaakkkk......kraaakkk......! ”

Hening sekali mengikuti bunyi suara burung gagak itu. Bahkan kicau burungpun berhenti, seolah semua binatang merasa takut mendengar bunyi parau yang aneh itu. Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing atau srigala.

“Haunggg.....haunnnnggg..........! ”

“Hemm, kita telah disambut.” kata Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko juga mengangguk. Mereka sudah mengenal pula bunyi srigala itu yang merupakan tanda rahasia para anggota Jambuka Sakti.

Tak lama kemudian dari balik semak-semak bermunculan empat orang pria tinggi besar berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka berempat memegang sebatang golok yang gagangnya berbentuk kepala srigala dengan ronce merah.

Agaknya empat orang ini mengenal Ki Klabangkoro dengan baik karena begitu melihat dua orang pimpinan Gagak-seto itu, mereka berempat lalu menyimpan golok mereka di sarung golok yang tergantung di pinggang kiri.

“Kiranya sampeyan berdua yang datang berkunjung, Ki Klabangkoro! ” mereka berkata sambil tertawa.

“Benar, kawan. Kami ingin bertemu dengan Kakang Brotokeling.” Jawab Klabangkoro sambil tertawa.

“Kalian berdua memang sedang dinanti-nanti. Mari, silakan! Empat orang itu menjadi petunjuk jalan dan dua orang pimpinan Gagak Seto itu lalu mengikuti mereka dari belakang, melalui semak-semak belukar dan pohon-pohon besar.

Akhirnya tibalah mereka diperkampungan Jambuka-sakti yang berada di tengah-tengah hutan, di antara pohon-pohon raksasa. Di situ dibangun pondok-pondok darurat.

Karena ketua Jambuka-sakti memang sedang menanti-nanti kunjungan kedua orang pimpinan Gagak-seto ini, maka mereka berdua segera disambut dan dipersilakan memasuki pondok induk di mana sang ketua telah menanti mereka.

Tak lama kemudian. Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko sudah duduk bersila di atas tiakar tebal, berhadapan dengan Ki Brotokeling. ketua Jambuka Sakti ini seorang yang bertubuh jangkung kurus, berusia limapuluh delapan tahun. Biarpun tubuhnya jangkung kurus akan tetapi penampilannya penuh wibawa. Kumis dan jenggot tebal dan membuat dia kelihatan gagah dan menyeramkan. Sebagian mukanya yang kemerahan itu tertutup kumis, jenggot dan cambang sehingga yang nampak hanya hidungnya yang besar dan matanya yang tajam seperti mata burung elang.

“Bagus kalian datang! ” kata Brotokeling. “Bagaimana perkembangan di Gagak-seto? Dan bagaimana keadaan Ki Sudibyo sekarang? ” tanya ketua Jambuka-sakti itu.

“Kabar penting yang kami bawa, kakang Brotokeling. Kami telah melaksanakan semua pesan andika. Perkumpulan Gagak-seto praktis sudah berada di tangan kami. Seluruh anak buah juga sudah tunduk kepada kami. Mereka semua telah ikut makan hasil sepak-terjang dan ikut terlibat sehingga mau tidak mau mereka semua akan setia kepada kami.”

“Bagus! Dan Ki Sudibyo tidak mengetahui semua itu? ” tanya Brotokeling, “Apakah dia sudah tidak lagi merasa penasaran dengan penyerangan yang dilakukan anak buah kami sepuluh tahun yang lalu ? ”

“Ah, urusan itu sudah dia lupakan Brotokeling. Kami sudah melaporkan kepadanya bahwa andika tidak tahu-menahu dengan serangan itu, bahwa penyerangan itu mungkin dilakukan oleh anak buah Jambuka-sakti yang sudah keluar dari perkumpulan dan bertindak liar. Diapun menghabiskan saja urusan sampai di situ. Dan selama ini, dia hanya mengurung diri dalam sanggar pamujan.”

“Ha-ha-ha, tidak kusangka Ki Sudibyo mempunyai hati selemah itu. Kalau dia demikian cinta kepada isterinya, kenapa dia mengutus engkau untuk membunuhnya bersama pacar isterinya itu?”

“Kami juga merasa heran sekali kakang. Dia sendiri yang menyuruh membunuh isterinya yang menyeleweng, sekarang dia membenamkan dirinya dalam duka. Akan tetapi hal itu malah kebetulan karena melemahkan semangatnya.”

“Kalau begitu, kenapa kalian belum turun tangan? Sebaiknya menguasai Gagak-seto secara sah, dengan membunuh Ki Sudibyo dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua. Kalau terjadi keributan kami akan membantu kalian menumpas semua penghalang.”

“Itulah kesulitannya, kakang Brotokeling. Selama sepuluh tahun ini, Bapa Guru hanya sibuk dengan muridnya yang baru, yaitu Niken Sasi. Dan baru kemarin kami mendapat kenyataan yang amat mengejutkan. Di dalam ruangan tertutup yang hanya ditempati Ki Sudibyo dan Niken Sasi, Bapa Guru telah berlatih aji Hasta-bajra dengan hebat sekali! ”

“Ahh! Dan kaukatakan dia telah menjadi lemah, baik badan maupun semangatnya? ” teriak Brotokeling penasaran.

“Memang sesungguhnya demikian, kakang. Bapa Guru makin hari makin lemah dan setiap hari dia minum jamu. Akan tetapi di ruangan tertutup itu ada yang latihan ilmu pukulan ampuh itu sampai terdengar suara gaduh dan dinding-dinding tergetar.”

“Hemm, benarkah itu, adi Mayangmurko? ”

“Benar, kakang Brotokeling. Aku juga mendengarnya sendiri dan menurut keterangan Niken Sasi, yang menimbulkan suara gaduh itu adalah Bapa Guru yang berlatih Hasta Bajra.”

“Eh, Ladahlah! Jangan-jangan murid barunya, gadis bernama Niken Sasi itu yang berlatih Hasta Bajra ! ” kata Brotokeling dengan alis berkerut.

Klabangkoro dan Mayangmurko tertawa. “Ha-ha-ha, harap jangan khawatir, kakang Brotokeling. Tadinya kami juga mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi mana mungkin bocah perempuan berusia delapanbelas tahun itu dapat menguasai Hasta Bajra yang membutuhkan tenaga sakti yang besar? ” kata Klabangkoro.

“Pula, andaikata benar demikian, kami sudah merencanakan siasat untuk menaklukannya. Akan tetapi semua rencana kami membutuhkan bantuan kakang Brotokeling.” kata Mayangmurko.

“Tentu saja, kami akan membantu. Bukankah selama ini kita sudah saling membantu? Nah, sekarang ceritakan, apa rencana siasat kalian itu agar aku dapat melaporkannya kepada Kanjeng Gusti! ”

Ki Klabangkoro mengamati wajah tuan rumah dengan penuh selidik.

“Kakang Brotokeling, sebelum kami menceritakan rencana kami, lebih dahulu kami mohon sukalah kiranya andika memberitahukan kepada kami, siapa sesungguhnya Kanjeng Gusti itu. Kami sepantasnya mengetahui untuk siapa kami bekerja dan menghambakan diri.”

“Benar sekali, kakang Brotokeling kami harus tahu kepada siapa kami mengabdi.” sambung Mayangmurko.

Ki Brotokeling membelalakkan matanya dengan marah. “Andika berdua sungguh lancang mulut! Apakah kalian sudah tidak sayang lagi kepada nyawa kalian? Merupakan pantangan besar untuk mencoba mengetahui siapa Kanjeng Gusti. Aku sendiripun belum pernah melihat wajahnya yang sesungguhnya. Sudah kukatakan dahulu bahwa kalau dikehendaki Kanjeng Gusti, beliau akan memperkenalkan diri sendiri kepada kita. Sekarang yang penting, kita tahu bahwa kita menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti, menerima upah yang besar, bahkan kelak akan diberi kedudukan tinggi. Akan tetapi siapa mengkhianatinya, biarlah akan lari ke neraka sekalipun tentu akan dapat ditangkap dan dihukum. Cukup kukatakan bahwa kekuasaan Kanjeng Gusti tidak terbatas. Jangan ulangi lagi pertanyaan goblok itu.”

Kalbangkoro dan Mayangmurko beruabh agak pucat wajah mereka mendengar ini.

“Maafkan kami. Sebetulnya kami bertanya bukan karena curiga ataun tidak percaya, melainkan agar yakin dan menambah besarnya kesetiaan kami. Akan tetapi kalau itu merupakan pantangan besar, biarlah kami mencabut kembali pertanyaan itu. Sekali lagi harap maafkan kami, kakang Brotokeling.”

“Sudahlah, adi Klabangkoro, jangan singgung lagi persoalan itu. Sekarang lebih baik ceritakan segala yang terjadi dan apa yang kalian rencanakan”.

Klabangkoro dan Mayangmurko lalu menceritakan semua yang mereka ketahui tentang Ki Sudibyo dan Niken Sasi. Betapa gadis itu diberi tugas oleh Ki Sudibyo untuk mencari pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya. Kemudian menceritakan pula betapa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Ki Sudibyo.

“Walah-walah........! Itu gawat sekali! ” kata Ki Brotokeling sambil mengepal tinju. “Soal mencari pusaka Tolam Upih, kami sudah mendengar karena Kanjeng Gusti juga memberi perintah kepada kami untuk membantu dan memperebutkannya. Akan tetapi, kalau gadis itu hendak diangkat menjadi ketua Gagak Seto, hal ini berbahaya sekali. Kalian tentu akan kehilangan kekuasaan atas anak buah Gagak Seto. Lalu apa rencana kalian untuk menghadapi semua itu? Memang mencurigakan sekali. Kalu gadis itu hendak dijadikan ketua, bukan mustahil ia sudah menguasai Hasta-bajra.”

Harap jangan khawatir, kakang Brotokeling. “Kami sudah mengatur rencana siasat begitu. Kalau gadis itu sudah menguasai Hasta Bajra, kami akan berusaha agar ia dapat menjadi jodoh puteraku sehingga aji itu akan dengan mudah kita kuasai kalau ia sudah menjadi mantuku. Kami akan menggunakan siasat agar puteraku berjasa dan ia berhutang budi kepada Gajahpuro, anakku. Andaikata siasat ini gagal, kami masih dapat menggunakan saisat lain, yaitu menodainya agar ia terpaksa mau menjadi isteri Gajahpuro untuk mencuci aib. Langkah kami yang kedua, kami akan membayangi Niken Sasi membiarkan ia mendapatkan Tilam Upih. Baru setelah itu kami merampas dari tangannya, Akan tetapi untuk menjamin keberhasilan rencana ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan kakang Brotokeling, karena untuk membayangi gadis itu, apalagi kalau benar-benar ia menguasai aji Hasta Bajra, tidaklah mudah dan membutuhkan anak buah yang kuat.”

“Hemm, jangan khawatir. Untuk mengatasi gadis itu, serahkan kepada kami. Akan tetapi, bagimana rencana kalian terhadap Ki Sudibyo? Kenapa sampai sekarang dia dibiarkan hidup dan belum juga kalian usahakan agar aji itu jatuh ke tangan kalian?

“Untuk menghadapi Ki Sudibyo kamipun sudah mempunyai rencana siasat yang matang, kakang. Kalau benar seperti yang kami lihat dan duga bahwa Ki Sudibyo itu sudah menjadi seorang kakek yang lemah, tentu saja hal itu amat mudah. Kami akan memaksanya untuk mengajarkan Hasta Bajra kepada kami dengan membuatkan kitabnya.”

“Hemm, aku sudah lama mengenal Ki Sudibyo dan dia adalah seorang laki-laki yang berhati sekeras baja. Bagaimana mungkin kalian akan dapat memaksanya? Orang macam dia tidak takut mati, dan kalau tidak mau menyerahkan, biar dia sudah menjadi lemah dan kalian ancam, akan sukarlah untuk dapat memaksanya manyerah.”

“Untuk itupun kami sudah merencanakan siasat yang pasti akan berhasil.” Kata Klabangkoro gembira. “Pendeknya, serahkan urusan meminta Ki Sudibyo membuatkan kitab pelajaran aji Hasta Braja itu kepada kami. Adapun mengenai pekerjaan membayangi Niken Sasi, kemudian kelak menguasainya kalau kami gagal dengan pengerahan tenaga, kami harap kakang Brotokeling membantu kami.”

“Baik, sekarang membagi tugas. Ingat, kalau aji Hasta Braja sudah berhasil dibuatkan kitabnya, kalian harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajarinya.”

“Wah, kakang Brotokeling sudah sakti mandraguna, untuk apa lagi mempelajari Hasta Bajra? ” Klabangkoro mencela.

Ki Brotokeling mengelus jenggotnya. “Pernah aku mengadu ilmu dengan Ki Sudibyo. Kami setanding dan aku pasti tidak akan kalah olehnya kalau saja dia tidak mempergunakan Hasta-bajra. Karena itu, setelah kalian berhasil memperoleh kitab pelajaran aji itu, aku harus ikut mempelajarinya. Dan kalian tidak boleh menolaknya, atau mungkin andika berdua tidak suka bekerja di bawah kekuasaan Kanjeng Gusti. Dan tidak suka bekerja sama itu berarti menetang! ”

Demikianlah, setelah berbincang-bincang dan mengatur siasat, dua orang pimpinan Gagak Seto itu meninggalkan hutan dan kembali ke lereng Anjasmoro.

Perbuatan jahat yang bagaimanapun juga tidak akan terasa jahat bagi pelakunya. Seperti yang dilakukan oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga Brotokeling itu, yang mengadakan persekutuan untuk mencelakakan Ki Sudibyo. Bagi mereka, perbuatan mereka itu sama sekali tidak jahat! Demikian pula bagi semua manusia di dunia ini.

Mereka semua menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan itu adalah benar dan tidak jahat. Mengapa demikian? Karena semua perbuatan itu mereka lakukan dengan pamrih demi kebaikan dan kesenangan diri pribadi! Dan melakukan perbuatan untuk menyenangkan diri ini mereka anggap tidak jahat! Mereka anggap sebagai “ perbaikan nasib”! Nafsu daya rendah yang sudah bergelimang dalam hati akal pikiran siap untuk menjadi pokral membela semua perbuatan kita. Ada saja alasan yang mereka kemukakan untuk menutupi kesalahan perbuatan kita, atau setidaknya untuk mengurangai kadar kejahatanya. Seorang maliang dibela hati pikirannya sendiri
bahwa dia melakukan pencurian demi membela perut keluarga, demi membiayai hidup mereka, dan sebagainya.

Seorang pembunuh dibela hati akal pikirannya bahwa dia membunuh karena yang dibunuh itu jahat sekali sehingga pembunuhan yang dilakukannya itu malah baik! Seorang koruptor dibela hati pikirannya sendiri bahwa korupsi yang dilakukan itu adalah hal yang wajar dan umum, bahwa semua karyawan juga melakukannya, demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak-anak mereka yang mahal dan sebagainya. Pendeknya, semua perbuatan akan dibela oleh hati pikirannya sendiri, karena hati akal pikan itu, seperti juga perbuatan, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah yang merebut tahta kerajaan dalam diri dan
menyebut diri sendiri sebagai aku yang penting! Nafsu daya rendah sedemikian kuatnya mencengkeram diri lahir batin, dan nafsu itu amatlah julingnya, amat pandai dan bersalin rupa. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang akan mampu mengalahkannya dan menaklukannya kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa! Hanya dengan menyerah kepada kekuasan tuhan sajalah yang akan dapat membersihkan batin sedikit demi sedikit dari cengkeraman nafsu daya rendah.

*** 008 ***

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 009

***BACK***

No comments:

Post a Comment