Ads

Thursday, June 20, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 006

***BACK***

“Hemm, engkau! Ya, engkaulah yang membuat suamiku mati! Engkau harus menebusnya dengan nyawamu!”

Akan tetapi dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu timbul keberanian dalam hati Dewi Muntari. Tidak percuma ia menjadi puteri Sang Prabu Jayabaya. Dalam tubuhnya mengalir darah satria linuwih. Dengan berdiri tegak ia menentang pandang mata yang mencorong itu, lalu ia berkata dengan suara tegas penuh ketenangan.

“Ni Durgogini, kalau engkau hendak membunuhku, tentu mudah kau lakukan. Akan tetapi, aku tidak takut karena kanjeng romo tentu tidak akan mengampunimu kalau engkau menggangu seujung rambutku saja.”

“Hi-hi-hi-hik! Babo-babo keparat! Siapa takut kepada kanjeng romomu? Siapa dia? Akan kubuh sekalian! ”

“Datanglah ke kota raja Daha kalau engkau berani. Ayah kandungku adalah kanjeng romo Prabu Jayabaya! ”

Sepasang mata yang tadinya mencorong itu terbelalak kepada Dewi Muntari penuh selidik.

“Ni Durgogini, aku mengetahui ketika belasan tahun yang lalu andika menghadap Kanjeng Romo untuk menyerahkan sebatang keris pusaka! ”

Kini keraguan nenek aneh itu menghilang dan sikapnya berubah lunak.

“Tobiltobil.....! Jadi andika ini puteri Sang Prabu Jayabaya? Si keparat Kolokrendo, pantas mati seratus kali, berani mengganggu puteri Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi, kenapa andika dapat berada seorang diri di tempat sunyi ini, gusti puteri? ”

“Ah, malapetaka telah menimpa keluarga kami, bibi.” kata Dewi Muntari dan teringat akan suami dan puteri, tak tertahankan lagi ia menangis.

Kini sikap Ni Durgogini sama sekali berubah. Dengan gerakan halus ia menghampiri dan mengelus rambut kepala Dewi Muntari.

“Hemm, tenanglah, gusti puteri. Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah kepada Nini Durgogini dan akulah yang akan membasmi anjing dan tikus yang berani menggangumu.”

Dewi Muntari menahan tangisnya. Lalu ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya, betapa suaminya tewas ketika gerombolan penjahat menyerang mereka. Pasukan pengawal lari kocar-kacir, suaminya tewas dan puterinya mudah-mudahan dapat meloloskan diri.

“Aku sempat memberi perlawanan akan tetapi akhirnya tertangkap. Kemudian mucul .....dia itu....” Ia menuding ke arah jenazah Ki Kolokrendo. “Dia membunuh semua gerombolan penjahat yang hendak memaksanya menjadi teman hidupnya. Aku lari sampai ke sini dan andika muncul menyelamatkan aku, bibi.”

“Hemm, kalau begitu para penjahat itu sudah tewas semua. Dendammu sudah terbayar lunas. Juga Ki Kolokrendo sudah mampus. Apa yang hendak kau lakukan sekarang, gusti puteri? ”

“Bibi, pertama-tama kuharap andika tidak menyebut gusti puteri kepadaku. Kalau boleh, aku akan ikut denganmu, mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian. Aku ingin menjadi muridmu, bibi.”

“Ehh? ? Hi-hi-hi-hi! Mana aku berani? Sang Prabu Jayabaya akan marah kepadaku kalau aku berani lancang mengambil murid puterinya. Sebaiknya paduka kuantarkan kembali ke istana gusti.”

“Bibi Durgogini, namaku Dewi Muntari. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke istana. Banyak orang membenciku di sana, dan akupun curiga atas peristiwa yang menimpa keluargaku. Patut dicurigai bahwa yang mengatur semua ini berada di kota raja! ”

“Hi-hi-hi-hi-hik, begitukah? Biar aku yang menyelidikinya dan membekuk pelakunya! ”

“Tidak usah, bibi. Aku sendiri yang akan melakukan, akan tetapi tentu saja kalau bibi mau menerimaku sebagai murid. Kalau kanjeng romo kelak menegur, biarlah aku yang akan menghadapi dan siap meneriam hukuman! ”

Akhirnya Ni Durgogini tak dapat menolak lagi.

“Baiklah, Dewi! Mulai sekarang namamu Dewi saja dan engkau akan kugembleng aji kesaktian. Muridku hanyalah Ki Kolokrendo seorang. Setelah dia kini mampus, engkaulah yamh menjadi penggantinya.” Ia menggandeng tangan Dewi Muntari. “Mari kita pergi! ”

Wanita yang mulai sekarang menggunakan nama Dewi, memandang kearah jenazah kakek itu dan berkata, “Akan tetapi, Bibi. Bagaimana dengan jenazah itu? Apakah tidak perlu disempurnkan dulu? ”

“Hi-hi-hi-hik, dia sudah mati, mau diapakan lagi? Dia hanyalah sebatang mayat, bukan lagi Kolokrendo. Hayo pergi! ” Sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan Dewi merasa betapa tubuhnya terayun seperti dibawa terbang! Ia pasrah. Ia sudah mengambil keputusan bulat.Ia akan mempelajari aji-aji kesaktian dan kelak ia sendiri yang akan melakukan penyelidikan dan membalas dendam kepada mereka yang mengatur jatuhnya malapetaka yang menimpa keluarganya. Tentang nasib puterinya, ia serahkan saja kepada Hyang Widhi. Tekatnya sudah bulat. Kembali ke istana ia sudah tidak mau. Hidup berdua dengan puterinya saja juga berbahaya karena ia tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka berdua.

Sang waktu melesat dengan cepatnya, melewati segala apa yang terdapat dan terjadi di alam mayapada ini. Tidak ada yang dapat mengalahkan Sang Waktu. Bagaikan Bathara Kalla Sang Waktu mencaplok dan melahap semua yang ada. Yang tadinya tidak ada menjadi ada, yang muda menjadi tua, yang tua menjadi mati dan demikianlah semua itu terus menerus mengalir melalui Sang Waktu. Kita sudah biasa menjadi permainan waktu, dengan masa lalu yang mengalir pada masa kini untuk menuju masa depan. Kita hidup di dalam waktu, semua tergantung kepada waktu.

Sebenarnya, apakah waktu itu? Masa lalu kini dan masa depan, benarkah ada hubungannya? Tentu saja berhubungan kalau hidup ini menjadi ajang dari kenangan dan pikiran. Pikiran adalah aku, maka selalu hendak mempertahankan keadaan dirinya. Dan tanpa waktu, keberadaan dirinya akan terancam musnah. Siapa aku ini tanpa masa lalu, masa kini dan masa depan?

Justeru hidup lepas dari pada permainan waktu adalah hidup yang sejati. Hidup dari saat ke saat, tidak terpengaruh oleh masa lalu atau masa depan.Tidak ada dendam, tidak ada budi dihutang, yang ada hanyalah saat ini dan segala yang terjadi adalah wajar. Segala yang terjadi adalah kenyataan yang tak dapt dipungkiri lagi, lepas dari segala bentuk dendam maupun pamrih. Kalau begitu, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja. Kekuasaan Tuhan mengatur segalanya, melalui segala macam kekuatan yang ada di permukaan bumi ini. Juga melalui tenaga yang ada pada diri manusia. Semua itu menjadi alat Tuhan dan semua akan berjalan sesuai dengan alur dan jalurnya.

Kalau orang memperhatikan jalannya waktu, maka akan ternyatalah bahwa waktu berjalan amatlah lambatnya, seperti siput. Kalau diperhatikan, sejam rasanya sehari, sehari rasanya sebulan, dan sebulan rasanya setahun. Akan tetapi kalau diperhatikan, waktu melesat lewat seperti anak panah dilepas sebuah gendawa sakti. Bertahun-tahun lewat seperti beberapa hari saja!

Sepuluh tahun telah lewat sejak Budhidharma hidup sebagai murid Sang Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi.Bocah yang dulu berusia sepuluh tahun itu kini menjadi seorang pemuda berusia duapuluh tahun! Seorang pemuda dewasa yang bertubuh tegap dan kuat, dengan dada yang bidang dan kalau berdiri tegak dan kokoh seperti batukarang, kalau berjalan langkahnya gontai namun tegap seperti langkah seekor harimau. Gerak geriknya lembut dan tutur sapanya halus. Dari sikapnya saja tentu orang dapat menduga bahwa dia bukanlah pemuda dusun biasa, lebih mirip seorang pemuda bangsawan dari kota raja yang menyamar sebagai seorang pemuda dusun. Juga sikapnya yang rendah hati dan sama sekali tidak congkak ini sama sekali tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda yang digdaya dan sakti mandraguna!

Dia lembut namun bukan berarti pendiam. Tidak, Budhidharma pandai bicara dan pembawaannya lincah gembira sehingga semua orang di sekitar lereng Gunung Kawi, Yaitu rakyat yang tinggal di dusun-dusun sekitarnya mengenalnya dengan baik dan pergaulan mereka cukup akrab. Terutama sekali para perawan dusun, hampir semua tertarik dan tergila-gila kepada pemuda ini.

Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.

Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai datuk atau yang berkuasa atas Panca Giri { Lima Gunung} yaitu Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi.

Dia memilih sebuah lereng yang sunyi dan indah pemandangannya, lalu bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu menyelamatkan Budhidharma, dia menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang bhagawan.

Dari Bhagawan Tejolelono, Budhidharma menerima gemblengan lahir batin sehingga bukan saja tubuhnya amat kuat dan kebal, dan dia mengenal berbagai kesaktian yang menjadikan dia seorang lawan yang sukar dikalahkan, juga dia dituntun dalam hal pengertian hidup sehingga batinnya terbuka dan dia memiliki watak yang baik, pengertian yang mendalam dan waspada.

Pada suatu pagi, tidak seperti biasanya, pagi sekali Sang Bhagawan Tejolelono telah duduk bersila di ruangan depan pondoknya lalu berseru halus memanggil muridnya yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan minuman untuk gurunya.

Dari dapur, Budhidharma menjawab panggilan gurunya dan karena sarapan memang sudah siap, dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana gurunya sudah duduk bersila. Budhidarma menghidangkan sarapan itu di atas tikar. Pisang tanduk rebus, air teh kental dengan gula kelapa.

“Silakan sarapan dulu, Eyang Bhagawan.” katanya dengan lembut.

Gurunya tersenyum. Anak ini selalu demikian penuh perhatian kepadanya. Bahkan pakaiannyapun diurus oleh Budhidharma.

“Wah, pisang rebus? Hemm, seperti pisang tanduk, ya? ”

“Benar, Eyang. Pemberian dari paman Suto........”

“Mari, kautemani aku sarapan, Budhi.”

“Baik, Eyang. Eyang tadi memanggil saya? ”

“Ya, ada sesuatu yang penting hendak kusampaikan kepadamu, angger. Akan tetapi mari kita sarapan dulu, setelah itu baru kita bicara.”

Kakek dan pemuda itu lalu sarapan pisang. Hanya pisang rebus, akan tetapi pisang tanduk yang sudah tua merupakan makanan yang lezat sekali. Juga minuman air teh kental dengan gula kelapa juga nikmat sekali diminum di waktu pagi yang dingin.

Setelah kenyang sarapan, Bhagawan Tejolelono membiarkan muridnya menyingkirkan sisa makanan dan membersihkan tikar, barulah dia menceritakan apa yang hendak dibicarakan tadi.

“Begini, angger. Tahukah andika, sudah berapa lama andika tinggal dan belajar ilmu di sini? ”

“Kalau tidak salah, sudah kurang lebih sepuluh tahun, eyang.”

“Benar, dahulu usiamu sepuluh tahun dan sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dupuluh tahun.”

“Semua ini berkat bimbingan Eyang yang bijaksana dan saya tidak akan menyia-nyiakan semua yang telah Eyang ajarkan kepada saya.”

“Bagus, semoga begitu adanya. Ketahuilah bahwa semua ilmu yang kumiliki telah kuajarkan kepadamu, angger. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan.”

Budhidharma menatap wajah kakek itu. Dia sudah dapat menduga apa yang dimaksudkan gurunya.

“Akan tetapi, Eyang. Saya masih mempunyai kewajiban yang amat penting, yaitu menemani dan menjaga Eyang sebagai Darmabakti seorang murid kepada gurunya tercinta.”

“Darmabaktimu sudah cukup untukku, kulup. Darmabaktimu untuk Sang Hyang Tunggal, untuk rakyat dan kemanusiaanlah yang perlu kau lakukan. Oleh karena itu, mulai hari ini engkau harus mengambil jalan hidupmu sendiri kita harus berpisah.”

“Ampun Eyang. Akan tetapi, tidak dapatkah saya mengikuti Eyang dan melayani eyang yang sudah tua? Siapa yang akan mengurus keperluan hidup Eyang sehari-hari......”

“Ha-ha-ha-, aku menjadi seorang yang malas dan manja, Budhi. Aku masih dapat mengurus diriku sendiri dan aku akan pergi merantau, maka tidak mungkin kita pergi bersama. Dan aku mempunyai tugas bagimu yang kuharap dapat kaulaksanakan dengan baik karena inipun merupakan tugasmu untuk menentramkan jagat.”

Budhidharma menjadi girang sekali. Dia menyembah dan berkata, “Hamba akan melaksanakan perintah Eyang sebaik-baiknya. Tugas apakah yang harus hamba kerjakan, Eyang? ”

“Kisahnya dimulai kurang lebih seratus tahun yang lalu. Seabad yang lalu, ketika Sang Prabu Airlangga sudah merasa sepuh, beliau turun tahta dan hidup sebagai seorang pendeta dan terkenal karena kebijaksanaannya, Sang Mahaprabu Airlangga memakai nama julukan Resi Gentayu. Setelah beliau mengundurkan diri, banyak pusaka keraton yang diboyong ke pertapaan. Dalam keadaan perpindahan pusaka itu, terjadi geger karena hilangnya sebuah pusaka keris yang disebut Sang Tilam Upih! Pusaka ini merupakan keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan dan mengandung hawa yang jahat sekali. Kabarnya, jangankan sampai melukai kulit orang baru diacungkan saja, hawa dan pengaruh yang berdaya kuat dari keris pusaka itu dapat membuat tubuh lawan menjadi melepuh seperti disiram air mendidih atau seperti disambar petir.”

“Wah bukan main ampuhnya keris pusaka itu, Eyang! ” seru Budhi dengan kagum. “buatan atau ciptaan siapakah pusaka itu, eyang? Saya belum pernah mendengarnya.”

“Pusaka itu diciptakan oleh Empu Brobokendali, seorang empu yang terkenal ampuh di jaman negeri Medang Kamulan, delapan ratus tahun yang lalu. Menurut dongeng, ketika menciptakan keris pusaka Tilam Upih itu, Empu Bromokendali kedatangan seorang perawan cantik dan dia tidak mampu menahan gejolak birahinya. Terjadilah perbuatan susila yang sebetulnya merupakan pantangan bagi Empu Bromokendali di waktu dia sedang membuat sebuah keris pusaka. Setelah kesemuanya terjadi, barulah dia mendapat kenyataan bahwa tubuh perawan itu dipergunakan oleh iblis untuk menggodanya. Dan dia telah melanggar pantangan berat.”

“Akan tetapi Eyang dalam hal ini, sama sekali kita tidak boleh menyalahkan iblis yang menggoda. Menurut bimbingan Eyang bukankah sumber segala perbuatan tidak benar terletak di dalam hati akal pikiran sendiri? ”

“Memang benar demikian, kulup. Dan iblis yang memang pekerjaannya menggoda manusia, tahu akan kelemahan hati akal pikiran manusia itu. Dia tahu di mana letak kelemahan itu dan selalu mempergunakan kesempatan untuk menggoda manusia melalui kelemahannya itu. Justeru kelemahan Empu Bromo kendali terletak kepada nafsu birahinya, maka iblis lalu mempergunakan tubuh perawan itu untuk menjatuhkannya.”

Budhidharma menganguk-angguk. “Menurut petunjuk Eyang, manusia tidak mungkin dapat melawan nafsu daya rendah yang menghuni hati akal pikiran kita sendiri. Satu-satunya kekuasaan yang mampu menundukkan daya rendah itu hanyalah kekuasaan Tuhan! Dan setiap orang akan dilindungi oleh kekuasaan Tuhan ini apabila dia dengan sepenuh jiwanya menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, penuh keimanan kepada Hyang Widhi Wasa.”

“Tepat sekali, kulup. Akan tetapi sayang, Empu Bromokendali lengah dan setelah semuanya terjadi, ada hawa yang jahat menyusup ke dalam keris pusaka Tilam Upih yang sedang dibuatnya. Setelah keris itu jadi, tahulah sang empu bahwa keris pusaka itu mengandung pengaruh dan hawa yanga amat jahatnya, yang kelak dapat membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sang empu mempergunakan kesaktiannya, membungkus pusaka itu dengan daun pisang kering, lalu melarungkannya {membuang} ke Lautan Kidul.”

“Jadi setiap benda buatan manusia itu akan terpengaruh oleh keadaan batin pembuatnya pada saat membuat benda itu , Eyang? ”

“Tentu saja! Karena itu, segala macam benda itu merupakan bahaya besar karena mengandung daya pengaruh yang amat kuat. Hanya batin orang yang benar-benar pasrah dan menyerah kepada Tuhan sajalah yang akan dapat terhindar dari pengaruh daya benda. Kembali kepada keris pusaka Sang Tilam Upih. Tentu tidak akan timbul akibat lain setelah keris pusaka itu dibuang ke Lautan Kidul kalau saja di waktu mudanya Sang Mahaprabu Airlangga bersama patihnya yang juga amat sakti dan setia yaitu Raden Narottama tidak melakukan tapabrata di tepi Lautan Kidul. Dalam pertapaan itulah Sang Mahaprabu Airlangga mendapat ilham sehingga beliau mengetahui adanya sebauh keris pusaka ampuh di dasar samudera. Beliau lalu mengutus patihnya untuk mengambil pusaka itu. Raden Narottama yang sakti lalu menyelam dan berhasil mengeluarkan keris Pusaka Tilam Upih itu.”

“Wah, hebat sekali ilmu kepandaian patih itu, Eyang.”

“Tentu saja. Ki patih Narottama yang sejak mudanya menjadi sahabat Sang Mahaprabu Airlangga memang seorang yang sakti mandraguna, bahkan seperguruan dengan Prabu Airlangga. Akan tetapi raja yang sakti mandraguna itu melihat betapa keris pusaka itu mengeluarkan hawa pengaruh yang amat jahat, maka beliau lalu memperbaikinya, mengisinya dengan hawa pengaruh yang baik, bahkan mengubah sedikit bentuknya. Setelah diisi pengaruh kebaikan oleh sang Prabu Airlangga, keris pusaka itu kini memiliki daya pengaruh dua macam. Kalau pusaka itu jatuh ketangan seorang yang budiman, maka keris pusaka itu akan amat berguna bagi nusa dan bangsa. Akan tetapi sebaliknya kalau tejatuh ke dalam tangan seorang yang pada dasarnya berwatak kotor, maka keris itu akan mendatangkan malapetaka bagi nusa dan bangsa.”

“Wah, gawat kalau begitu, Eayng.”

“Ketika Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, dalam kesibukan itu, keris pusaka Tilam Upih lenyap. Yang menerima tugas untuk mencari pusaka itu adalah eyang guruku yang bernama Ki Empu Dewaraga. Akan tetapi Ki Empu Dewaraga gagal menemukan kembali kerena menurut perhitungannya, keris pusaka itu terjatuh ke dalam tangan seorang yang sakti mandraguna dan amat jahat. Keris pusaka itu dijadikan senjata untuk mendirikan sebuah kerajaan di barat, jauh di pesisir Lautan Kidul. Saking sedihnya karena tidak mampu menemukan keris pusaka itu seperti diperintahkan Sang Mahaprabu Airlangga yang telah menjadi Sang Resi Gentayu, eyang guruku Empu Dewaraga merasa berduka yang mengakibatkan kematiannya.”

“Wah, kasihan sekali eyang buyut itu! Kata Budhidharma.”

Gurunya menghela napas panjang. “Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sang Prabu Jayabaya adalah seorang yang sakti mandraguna bijaksana dan menguasai aji meneropong tirai rahasia alam. Beliau itu weruh sakdurunge winarah {tahu sebelum terjadi}. Beliau mengumumkan perhitungannya dengan pasti bahwa keris pusaka Ki Tilam Upih itu tidak akan muncul kepermukaan bumi, dalam arti kata ditemukan orang, sebelum satu abad lamanya semenjak hilang. Dan sekaranglah tiba saatnya keris pusaka itu akan muncul. Berita tentang ini terdengar oleh seluruh orang gagah, maka orang-orang sakti mandraguna bermunculan untuk berlomba mencari dan menemukan keris pusaka Tilam Upih itu.”

“Untuk dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya, Eyang? ”

Kembali kakek itu menghela napas panjang. “Hemm, tentu ada yang berpamrih demikian. Akan tetapi aku khawatir bahwa sebagian besar di antara mereka berlomba mencari keris pusaka itu untuk dirinya sendiri, untuk dimilikinya sendiri. Ketahuilah, kulup, bahwa keris pusaka yang ampuh mempunyai pengaruh dan kekuasaan. Dan siapa orangnya yang tidak akan tertarik kalau ada kemungkinan kekuasaan jatuh pada dirinya? Karena itulah, kulup. Andika kuberi tugas, yaitu
mewakili aku mencari keris pusaka itu agar dapat kita kembalikan kepada Sang Parbu Jayabaya. Bagaimanapun juga, menjadi tugas kita untuk dapat menemukan pusaka itu, sebagai pemenuhan tugas dahulu yang gagal dilakukan eyang guruku Empu Dewaraga.”

Timbul kegembiraan dalam hati Budhidharma. Dia sebetulnya tidak takut hidup menyendiri, terpisah dari gurunya. Yang membuat dia ragu adalah permulaan dari hidup sendiri itu. Tanpa tujuan, dia harus pergi ke mana? Kini dengan adanya tugas itu, maka perjalanannya mempunyai satu tujuan tertentu dan ini amat menggembirakan hatinya.

“Saya akan melaksanakan perintah eyang! Akan tetapi, saya mohon petunjuk eyang. Kemanakah saya harus mencari pusaka Tilam Upih itu dan bagaimana pula bentuk dan rupanya agar kelak saya tidak mendapatkan barang yang palsu? ”

“Ingat baik-baik, kulup. Keris pusaka Tilam Upih adalah sebatang keris berlekuk tiga, dan setelah diubah bentuknya oleh mendiang Mahaprabu Airlangga maka dapur keris menjadi dapur Mahesa suka, yaitu badan lebar panjang sedang, dengan rincian: Lambe Gajah Lamba, Kembang Kacang, sogokan panjang. Mata keris bagian bawah amatlah tajamnya karena di situ terletak pengaruh jahat itu. Sehelai rambut yang diletakkan di atas mata keris itu lalau ditiup akan putus seperti dijilat api. Akan tetapi mata keris bagian atas berbeda dengan bagian bawah. Pamor di bagian atas seperti perak mencorong, akan tetapi pamor bagian bawah menghitam seperti angus. Ke mana mencarinya? Kulup, keris pusaka itu dahulunya di Lautan Kidul, di sebelah barat Nusa Barung. Nah, mulailah dari ujung timur, dari Blambangan sampai ke Teluk Prigi, Kulup.”

Demikianlah, setelah menerima banyak wasiat dan wejangan dari gurunya, tiga hari kemudian berangkatlah Budhidharma meninggalkan Gunung Kawi. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia naik ke Gunung Kawi sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun, kini dia menuruni lereng gunung itu sebagai seorang pemuda dewasa yang gagah dan tampan. Dia menuruni lereng dari sebelah selatan karena dia akan langsung saja melaksanakan perintah gurunya, yaitu menuju pantai selatan untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih itu. Tugasnya yang ke dua adalah pribadinya yang tidak pernah dia lupakan semenjak dia berada di Gunung Kawi.

Yaitu, mencari pembunuh ayah ibunya, gerombolan Gagak Seto dan terutama sekali ketuanya. Tidak, hatinya tidak diracuni dendam. Dia sudah menerima genblengan batin yang mantap dari gurunya sehingga hatinya tidak cengeng dan selemah itu. Dia maklum bahkan kematian setiap orang sudah ditentukan oleh kekuasaan Sang Hyang Syiwa, karena itu tidak semestinya kalau dia mendendam. Pelaku pembunuhan atas ayah ibunya itu hanya merupakan alat yang kebetulan dipergunakan oleh Sang Hyang Syiwa untuk mencabut nyawa ayah ibunya. Hal itu terjadi karena karma mereka.

Dia ingin mencari ketua dan gerombolan Gagak Seto untuk bertanya, apa sebabnya mereka melakukan pembunuhan itu. Hal ini haruslah jelas dan untuk melihat pula bagaimana sesungguhnya keadaan gerombolan Gagak Seto. Kalau memang gerombolan penjahat, dia tidak akan ragu lagi untuk membasminya, dan kalau ketuanya memang jahat, dia tidak akan ragu untuk menumpasnya. Inilah kewajiban seorang satria, bukan membunuh karena balas dendam! Dengan langkah tegap Budhidharma menuruni lereng Gunung Kawi.

Kita tinggalkan dulu Budhidhrma yang turun gunung mulai memasuki dunia ramai, dan marilah kita menengok keadaan lain di Gunung Anjasmoro! Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketua Gagak Seto yaitu Ki Sudibyo yang menderita sakit batinnya sehingga tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan, tidak begitu memperhatikan urusan perkumpulan. Untuk perkumpulan Gagak Seto dia serahkan kepada dua orang pembantu utamanya, yaitu Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko. Adapun dia sendiri lebih banyak berada di dalam sanggar pamujan atau di ruangan tertutup di bagian belakang yang menjadi tempat beristirahat dan berlatih silat baginya.

Akan tetapi, sejak dia mengangkat Niken Sasi menjadi murid, muridnya itulah yang selalu menemaninya. Niken Sasi bukan hanya menjadi murid tersayang, akan tetapi juga gadis cilik ini melayani segala keperluan gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibunya.

Kemudian, dia mendapatkan kenyataan bahwa murid barunya ini ternyata memiliki bakat yang hebat sekali! Sama sekali sukar dapat dipercaya bahwa dalam tubuh yang mungil dan lemah gemulai, yang luwes itu tersimpan tenaga sakti yang hanya butuh dilatih dan dikembangkan. Kemudian dia teringat bahwa bagaimanapun juga, gadis kecil ini adalah cucu SangPrabu Jayabaya yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja Ki Sudibyo girang bukan main dan diapun melatih gadis itu lebih tekun lagi. Bukan hanya semua ilmu dan aji kesaktian diajarkan kepada gadis itu, bahkan aji simpanannya, yaitu Aji Hasta-bajra [Tangan Kilat] yang selama ini tidak pernah diajarkan kepada murid lain, kini diajarkan kepada Niken Sasi, setelah gadis itu menjadi seorang gadis dewasa.

Hati Ki Sudibyo merasa terhibur. Dia masih merasa hidupnya penuh penderitaan kalau teringat akan penyelewengan dan pengkhianatan isterinya tercinta, kalau dia teringat betapa dia hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa isteri dan tanpa anak. Akan tetapi kini dalam diri Niken Sasi dia menemukan seorang murid, sekaligus seorang anak yang amat membanggakan dan menyenangkan hatinya.

Bukan kehebatan Niken Sasi dalam mewarisi semua aji kesaktiannya saja yang membuat Ki Sudibyo bahagia dan bangga. Akan tetapi keahliannya dalam ilmu lain, terutama sekali kecantikannya. Niken Sasi yang kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki kecantikan sebanding dewi-dewi kahyangan! Wajahnya yang bulat telur, rambutnya yang hitam panjang ngandan-andan, alisnya yang hitam kecil melengkung, matanya yang redup jeli kadang mencorong, hidungnya yang kecil mungil dan terutama sekali mulutnya yang menggairahkan, semua itu masih diperindah pula oleh bentuk tubuhnya yang padat ramping dan kulit putih kekuningan.

Di samping kecantikannya yang membuat semua pria di Anjasmoro dan sekitarnya terpesona, juga gadis ini amat pandai dalam kesenian berjoget, bertembang dan lain kesenian kaum wanita. Jelas sekali nampak trahing kusumo rembesing madu mengalir dalam darah yang lembut berisi ini. Namun, Niken Sasi tetap bersikap sederhana, seperti para perawan dusun pada umumnya. Ia sudah melupakan bahwa dirinya adalah cucu sang Prabu Jayabaya, dan menganggap dirinya seorang perawan dusun murid dan anak angkat Ki Sudibyo yang amat dihormati dan disayangnya. Biarpun pakaian dan gerak geriknya sederhana tidak ada bedanya dengan para perawan dusun, namun apabila ia berada di antara mereka, semua orang melihat kepandaiannya, seolah seekor merak berada di antara sekumpulan bebek!

Pada suatu sore Ki Sudibyo memanggil muridnya ke dalam ruangan belakang yang tertutup. Dia kini telah menjadi seorang laki-laki yang kelihatan tua sekali. Usianya memang sudah enampuluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih tua. Tubuhnya jangkung kurus, rambutnya sudah putih semua, dibiarkan terurai panjang, demikian pula jengkot dan kumisnya yang sudah putih dibiarkan tak terpelihara. Namun dia mesih tetap kelihatan bersih dan anggun.

Niken Sasi mengenakkan kain bercorak hitam dan kemben berwarna hijau pupus. Pinggangnya ramping sekali dan ia nampak seperti setangkai mawar. Jambon yang segar dan semerbak mengharum. Mendengar panggilan gurunya, Niken Sasi cepat menghadap dan memberi hormat dengan sembah. Pertama kali disembah oleh puteri bangsawan cucu raja ini, Ki Sudibyo merasa rikuh sekali. Akan tetapi kini dia sudah terbiasa dan dia menerima penghormatan itu dengan tersenyum dan mengamati wajah murid terkasihnya itu sambil mengangguk-angguk.

“Sembahmu sudah kuterima, dan keadaanku sehat-sehat saja hari ini, Niken. Duduklah, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”

“Perintah dan petunjuk apakah yang akan Bapa Guru berikan kepada saya? Saya siap melaksanakan semua perintah bapa.” kata Niken Sasi dengan suara merdu dan mantap.

Ki Sudibyo mengelus jenggotnya dan tersenyum gembira sekali. Sepasang matanya sejenak bersinar-sinar dan dia mengangguk-angguk.

“Tiada habisnya aku menghaturkan Hyang Agung yang sudah mengaruniaku seorang murid seperti andika ini di hari tuaku, Niken. Hatiku gembira sekali, apalagi ketika pagi tadi aku melihat bahwa latihanmu mempergunakan aji Hasta Bajra telah mencapai titik tertinggi. Nah, sekarang aku ingin melihat aji itu dengan menggunakan tenaga sepenuhnya, seolah engkau sedang berhadapan dan bertanding melawan seorang yang tangguh. Aku sendiri akan mengujimu menggunakan aji itu, Niken.”

Niken Sasi nampak khawatir. “Akan tetapi, Bapa, bertanding dengan aji itu amat berbahaya karena sekali dikeluarkan bagaimana kita dapat mengendalikannya sehingga tidak membahayakan lawan? ”

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 007

***BACK***

No comments:

Post a Comment