Ads

Thursday, June 20, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 002

***BACK***

Mendengar ucapan itu, Budhi menengok dan ternyata kakek yang menolongnya tadi telah berdiri di belakangnya. Karena dia sudah kehilangan segala-galanya, tidak adalagi manusia yang dapat menjadi teman hidupnya,maka kehadiran kakek itu membuka saluran baginya untuk mencurahkan perasaan hatinya. Dia menubruk kearah kaki orang tua itu dan menangis.

“Aduh, eyang............! Bagaimana saya tidak akan berduka dan merasa hacur hati saya? Di dunia ini saya hanya mempunyai ayah dan ibu berdua dan sekarang tiba-tiba mereka dibunuh orang. Saya tidak mempunyai seorangpun keluarga lagi, tidak mempunyai siapa-siapa lagi.....”

“Tidak ada orang yang hidup sebatang kara di dunia ini. Bukankah jutaan manusia lain inipun menjadi saudaramu? Sudahlah, nanti kita bicara lagi tentang diri dan masa depanmu.Sekarang yang terpenting adalah menyempurnakan jenazah ayah dan ibumu.”

“Eyang katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu harus berbuat apa.”

“Hemm, jenazah ayah dan ibumu perlu mendapat perawatan sebagaimana mestinya kemudian diperbukan. Apakah engkau tidak mempunyai kenalan atau tetangga yang sekiranya dapat membantu kita?”

“Tetangga kami hanyalah penduduk dusun di sebelah bawah lereng di sana itu, eyang.”

“Bagus. Nah,pergilah engkau ke dusun itu dan beritahu mereka bahwa ayah ibumu terbunuh gerombolan penjahat dan mintalah bantuan mereka untuk mengurus jenazah ayah ibumu.”

“Baik, eyang........”

Budhi lalu bangkit berdiri dan hendak berlari pergi. Akan tetapi baru belasan langkah dia berlari, dia mengeluh dan terguling roboh. Melihat ini kakek berbaju putih itu segera menghampiri Melihat anak itu pingsan, dia lalu membawa anak itu ke bawah sebatang pohon di samping pondok. Dia memeriksa tubuh anak itu dan menggeleng-geleng kepalanya dengan kagum. Tubuh anak ini mengalami siksaan yang hebat. Matang biru dan bengkak-bengkak, kedua paha dan pundak terluka.

Kakek itu lalu menggunakan kedua tanganya untuk memijit-mijit menekan dan mengurut tubuh Budhi. Tak lama kemudian, Budhi mengeluh dan dia siuman. Ajaib, setelah dipijit dan diurut oleh kakek itu, Budhi merasa tubuhnya sehat kembali dan tidak terasa nyeri lagi. Bahkan luka-luka lecutan cambuk yang tadinya terasa pedih dan amat panas, kini tidak merasa nyeri lagi. Dia lalu bangkit duduk bersimpuh di depan kakek itu.

“Bagaimana rasanya sekarang, kulup? Apakah masih nyeri rasa tubuhmu?”

“Terima kasih, eyang. Nyeri-nyeri pada tubuh saya tidak terasa nyeri.”

“Nah, kalau begitu, pergilah memberi tahu kepada penduduk dusun di bawah. Akan tetapi, katakanlah dulu kepadaku siapakah namamu?”

“Nama saya Budhidharma, eyang.”

Kakek itu tersenyum mengangguk-angguk.

“Bagus, bagus! Mudah-mudahan saja kelak sepak terjangmu akan sesuai dengan namamu. Nah, pergilah, kulup!”

Budhi lalu berlari pergi dari situ, menuruni lereng menuju dusun Gedangan. Ingatannya penuh lagi dengan bayangan ayah ibunya yang menggeletak mandi darah, maka tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran ketika dia berlari itu.

Penduduk dusun Gedangan terheren-heren melihat Budhi datang dengan berlari-lari sambil bercucran air mata. Biasanya anak ini selalu kelihatan cerah, bahkan suka berkelakar dan sifatnya periang. Segera mereka merubung Budhi dan bertanya-tanya.

Ketua dusun yang sudah mengenal baik ayah ibu Budhi, bahkan pernah disembuhkan dari penyakit berat oleh Ni Sawitri, segera maju dan memegang pundak Budhi.

“Anakmas Budhidharma, apakah yang telah terjadi? Kenapa andika menangis?”

“Paman......ah, paman.....tolonglah merawat...... jenazah bapa dan ibu...... mereka terbunuh gerombolan penjahat.”

Terdengar seruan di sana sini dan semua terbelalak dengan muka pucat. Kemudian berbondong-bondong mereka mengikuti Budhidharma menuju rumah yang terpencil di lereng itu. Setelah tiba di tempat tinggal anak itu. Mereka semua merasa ngeri melihat jenazh Ni Sawitri dan Margono yag mandi darah. Dan merekapun bertanya-tanya siapa adanya kakek yang berada di situ.

“Eyang ini yang menyelamatkan aku dari tangan penjahat itu, kalau tidak ada eyang ini, aku tentu tewas pula seperti kedua orang tuaku.” Setelah mendapatkan keterangan dari Budhi, penduduk dusun bersikap hormat dan tidak lagi mencurigai kakek berpakaian serba putih itu.

Atas permintaan Budhi sendiri, jenazah kedua orang tuanya tidak diperabukan melainkan dikubur di dalam tanah, di halaman depan rumah itu.

“Saya sudah tidak memiliki apa-apa lagi, eyang. Biarlah kedua kuburan ini menjadi sisa peringatan bagi kedua orang tua saya.”katanya.

“Hal ini boleh saja, Budhi. Jasmani ini memang terbentuk sebagian besar dari tiga zat yaitu, tanah, air, dan api. Oleh karena itu, setelah ditinggalkan rohnya, jasad dapat dikembalikan kepada salah satu di antaranya. Dibakar, dikubur, atau di larung ke samudera. Hanya saja, kalau dikubur dalam tanah, maka masih ada ikatan antara keluarganya dengan yang mati.” kata kakek itu.

Setelah Penguburan selesai dilakukan dan semua penduduk dusun sudah kembali ke Gedangan, Budhidharma masih saja berlutut di depan makam ayah ibunya. Kesedihan membuat anak ini lemas lunglai seperti kehilangan semangat dan biarpun dia sudah tidak menangis lagi, namun matanya masih selalu basah.

Kakek itu duduk di atas batu besar, di lereng Budhi yang bersimpuh di depan makam. Dia membiarkan anak itu menenggelamkan diri dalam lamunan kesediahn beberapa lamanya, kemudian tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah pohon di tepi halaman.

Dipegangnya batang pohon sebesar tubuh orang dewasa itu dengan kedua tangannya, lalu diguncangnya pohon itu. Pohon bergoyang dan tergoncang keras seperti ditiup badai mengeluarkan bunyi yang berisik dan daun-daun rontok berterbangan.

Budhi terkejut mendengar ini dan ketika dia memandang, diapun terbelalak keheranan. Sampai beberapa lamanya kakek itu menggoncang pohon. Budhi bangkit berdiri, menghampiri dan bertanya dengan suara mengandung keheranan.

“Eyang, apa yang eyang lakukan ini? Kenapa menggoncang pohon ini?”

Kakek itu tertawa dan menghentikan perbuatannya, lalu menggandeng tangan Budhi diajaknya anak itu duduk di atas batu besar.

“Budhi, lihatlah hati dan pikiranmu sekarang, saat ini. Apakah engkau masih berduka? Apakah engkau masih ingin menangisi orang tuamu?”

Budhi adalah seorang anak yang cerdik. Dia segera mendapat kenyataan bahwa kedukaan itu sama sekali tidak adalagi, atau sudah terlupa olehnya.Yang ada hanyalah keheranan.

“Tidak, eyang. Saya hanya merasa heran dan sudah melupakan kedukaan saya. Akan tetapi eyang mengingatkan dan .........”

“Nah, kalau begitu engkau sudah mengerti sekarang bahwa kedukaan itu hanyalah permainan dari ingatan sendiri saja.Ingatan mengunyah-ngunyah keadaanmu yang kehilangan orang tua, seperti si rakus melahap makanan yang enak dan ahtimupun seperti ditusuk-tusuk rasanya. Hal itu menimbulkan duka. Begitu pikiran dikuasai oleh keadaan lain, duka yang tadinya membuat orang seperti kehilangan semangat hidup itupun akan lenyap tanpa bekas lagi.Kalau hati akal pikiran itu selalu ditujukan kepada apa yang terjadi saat demi saat, tidak mengingat-ingat hal yang telah lalu, maka orang tidak akan dicengkeram duka. Mengertilah engkau, kulup?”

Biarpun masih belum jelas benar, namun Budhi dapat mengerti. Memang kedukaan hatinya timbul lagi kalau dia kembali kepada alam ingatan, mengingat-ingat hal yang telah berlalu.Dan semua itu sudah tidak berguan lagi.Biarpun dia menangis air mata darah, ayah dan ibunya taidak dapt hidup lagi.Yang terpenting ialah sekarang, saat ini, apa yang haryus dialakukan setelah ia hidup seorang diri. Dan dia meliaht betapa kakek itu seorang yang sakti, seorang yang bijaksana dan baik budi, maka dia segera menghampiri dan berlutut menyembah ke arah kaki orang tua itu.

“Eh, ada apakah, Budhi? Apa artinya penghormatan ini dan engkau hendak bicara apa?”

Kakek itu menjulurkan tangannya,menarik lengan anak itu ke atas dan menyuruhnya duduk di dekatnya.

“Eyang, saya hidup seorang diri di dunia ini, bahkan kalau eyang tadi tidak meyelamatkan saya,sekarangpun saya tidak ada lagi di dunia ini. Karena itu, kalau eyang sudi menerimanya, satya mohon agar eyang mengijinkan saya ikut, menjadi murid eyang,saya akan melakukan pekerjaan apa saja untuk membantu eyang.”

Kakek itu tersenyum mengelus jenggot putihnya yang tipis dengan tangan kiri dan menganguk-angguk.

“Baiklah, Budhi. Agaknya memang sudah ditentuakn oleh Hyang Widhi bahwa engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Akan tetapi jangan dikira enak menjadi murid seorang tua miskin seperti aku. Aku berjuluk Bhagawan Tejolelono, pekerjaanku hanya berkelana, tidak memiliki kekayaan apapun. Tempat tinggalku tidak menentu. Langit atapku,bumi lantaiku dan pohon-pohon merupakan dindingku. Engkau akan menderita kelaparan kalau tidak mencari makan sendiri. Nah, kalau engkau ikut aku menjadi muridku, engkau harus rajin sekali, bukan saja untuk mempelajari ilmu dariku tetapi juga untuk bekerja mencari makan. Sanggupkah engkau, Budhi?”

“Eyang, sejak kecil saya sudah biasa bekerja keras karena kami bukanlah keluarga kaya. Harap eyang tidak khawatir, saya akan bekerja keras dan rajin. Dan saya berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk eyang.”

Tejoleleono mengangguk-angguk dan hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi dia merasa sudah mengambil keputusan untuk mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Dia meliaht betapa Budhi memiliki keberanian, ketabahan dan kegagahan yang luar biasa.Selain hatinya yang teguh keras, anak inipun memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi orang yang sakti mandraguna.

Ketika jari-jari tangannya memijit tubuh anak itu, dia mendapat kenyataan bahwa Budhi memiliki tulang yang baik.

“Nah, kalau begitu berkemaslah, Budhi. Kumpulkan barang yang akan kau bawa karena kta akan pergi sekarang juga.” Akhirnya kakek itu berkata.

Mendengar ini Budhidharma berpikir sejenak lalu berkata dengan hormat, “Eyang, saya merasa sayang kalau rumah dan semua isinya ini saya tinggalkan begitu saja tidak terawat dan digunakan. Oleh karena itu, kalau eyang mengijinkan, saya hendak memasrahkan rumah ini dan semua isinya kepada seorang kenalan yang tinggal di dusun Gedangan. Dengan demikian, maka ruamh ini akan terpelihara, dan juga dapat bermanfaat baginya.”

Bhagawan Tejolelono mengangguk-angguk. Seorang bocah yang berpikir panjang.

“Baik, pergilah engkau ke dusun Gedangan.Aku akan menantimu di sini, Budhi.”

Budhi lalu pergi ke dusun Gedangan dan menemui seorang kenalan dan sahabat ayahnya bernama Karyosikun. Karyosiku hidup berdua dengan isterinya dan mereka tidak mempunyai rumah, hanya tinggal mondok di rumah seorang janda. Budhi sudah mengenal baik suami isteri yang miskin ini karena biasanya ayah dan ibunya kalau sedang repot membutuhkan tenaga bantuan, selalu menggunakan tenaga suami isteri ini.

Tentu saja kunjungan Budhi disambut dengan heran oleh Kayosikun dan isterinya yang bernama Sawiji. Suami isteri inipun tadi ikut pula datang melayat. Ketika meliaht mereka Budhi segera mengutaraka kehendaknya.

“Paman Karyosikun dan bibi Sawiji. Hari ini aku akan pergi mengikuti Eyang Bhagawan Tejolelono dan menjadi muridnya.Karena itu, lebih dulu aku ingin menyerahkan rumah kami dan semua isinya, juga kebun dan ladang kepada paman berdua.”

“Eh, eh, apa maksudmu, Gus?” tanya Karyosikun heran dan tidak mengerti.

“Begini, paman. Aku tidak ingin rumah itu kosong dan tidak terpelihara. Oleh karena itu, selama aku pergi, paman berdua tinggallah di rumahku. Sawah dan ladang kerjakanlah dan hasilnya untuk paman berdua. Rumah dan semua isinya pergunakanlah untuk keperluan hidup paman. Aku hanya ingin agar rumah itu terpelihara dan rumah itu beserta sawah ladangnya, baru paman kembalikan kalau aku membutuhkannya.”

“Wah.......,ini......bagaimana kami berani......” Karyosikun berseru gugup. “Siapa yang mau percaya kepada kami? Jangan-jangan kami akan dituduh merampas rumahmu, Bagus Budhi!”

“Jangan khawatir, paman karyo, marilah kita pergi ke rumah kepala dusun. Saya akan menyerahkan rumah dan sawah ladang kepadamu, disaksikan oleh kepala dusun.”

Melihat Karyosikun dan isterinya masih meragu, Budhi lalu memegang tangan orang itu dan diajaknya pergi ke rumah kepala dusun.

Kepala dusun Gedangan mengerti dan bahkan memuji tindakan Budhidharma itu. Memang sebaiknya kalau anak itu hendak pergi mengikuti gurunya, rumah itu dan sawah ladangnya diserahkan kepada seorang yang dapat dipercaya untuk mengurusnya, menikmati hasil sawah ladang dan memelihara rumah agar tidak menjadi rusak. Dan Karyosikun adalah orang yang dapat dipercaya untuk hal itu.

“Baiklah, kami yang menjadi saksinya dan engkau jangan khawatir kalau ada yang menuduhmu yang bukan-bukan, Karyosikun .”Kata kepala dusun itu.

Suami isteri itu langsung saja diajak oleh Budhi untuk ikut dia ke rumahnya. Setelah menyerahkan segala harta milik peninggalan orang tuanya, Budhi lalu pergi bersama Bhagawan Tejolelono, diantar sampai ke luar halaman oleh Karyosikun dan Sawiji. Anak itu hanya membawa pakaian, dibuntal sehelai kain milik ibunya. Dan diapun membawa keris milik ibunya. Keris itulah yang oleh ibunya dipakai melakukan perlawanan terhadap gerombolan Gagak Seto kemudian dipakai membunuh diri karena ia tidak mau tertangkap hidup-hidup oleh Klabangkoro.

Sambil melangkah di belakang Bhagawan tejolelono yang berjalan tanpa menoleh dan tanpa ragu-ragu bermacam kenangan menyelinap dalam kepala Budhidharma. Bayangan rumahnya, lalu ayah ibunya, memenuhi benaknya. Membayangkan kedua orang tuanya terkapar dengan mandi darah, membuat dia mengatupkan kedua bibirnya dan menggigit gigi sendiri. Kemudian terbayanglah wajah yang amat dibencinya itu, wajah klabangkoro yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam.

Selama hidupnya dia tidak akan pernah dapat melupakan wajah raksasa pembunh ibunya itu.Akan tetapi hatinya lebih sakit kalau dia mengingat bahwa Klabangkoro itu hanyalah seorang utusan saja dan pembunuh yang sebenarnya dari orang tuanya adalah yang mengutus Klabangkoro, yaitu ketua perkumpulan Gagak Seto setelah dia dewasa dan kuat, dia pasti akan mencari perkumpulan di Gunung Anjasmoro itu, membunuh ketuanya dan membasmi perkumpulan itu sampai ke akar-akarnya.

Akan tetapi, teringat akan pesan yang terakhir, dia mengerutkan alisnya. Sebelum ibunya menghembuskan napas terakhir, dalam rangkulannya, ibunya berpesan agar dia tidak membalas dendam. Tidak membalas dendam? Bagaimana mungkin itu? Dia teringat ketika ibunya memberi sebuah benda kepadanya. Selama ini, benda itu disimpannya dan hampir dia melupakan benda itu.Kini teriangat akan semua itu, dia mengambil benda itui dari kantung bajunya dan mengamatinya, sebuah benda kecil, dari perak, berbentuk seekor burung Gagak Putih!

“Perlihatkan ini kalau engkau tertangkap dan mereka tidak akan berani membunuhmu!” Benda apakah ini? Agaknya ada hubungannya dengan mereka yang menyerang dan membunuh ayah bundanya. Akan tetapi mengapa ibunya memiliki benda itu dan mengapa ibunya tidak mempergunakannya untuk meyelamatkan nyawanya? Dia menjadi bingung. Tidak mengerti. Kemudian dia menghela napas dan menyimpan kembali benda itu.

“Biarlah aku harus bersabar. Kelak kalau akan mencari perkumpulan Gagak Putih di Gua Tengkorak gunung anjasmoro, tetu akan mengetahui semua rahasia ini.”

Budhidharma harus mengikuti Bhagawan Tejolelono, melakukan perjalan jauh menuju ke Gunung Kawi. Setelah mendaki gunung itu akhirnya mereka tiba di sebuah di antara puncak-puncak di gunung itu, terdapat sebuah rumah kediaman Bhagawan Tejolelono di mana dia hidup sebagai seorang pertapa.

Mulai hari itu, tinggallah Budhidharma bersama Bhagawan Tejolelono di puncak Gunung Kawi Dengan tekun anak itu mulai mempelajari ilmu-ilmu dari pertapa yang sakti itu, dan seperti biasa ketiak masih tinggal dengan ayah ibunya, anak ini dengan rajin sekali bekerja di ladang untuk kebutuhan makan mereka berdua. Sang Bhagawan merasa suka sekali kepada anak yang tahu diri dan amat rajin itu. Makin berkembanglah perasaan sayang di hatinya terhadap anak itu dan diapun mencurahkan segala kemampuannya untuk mendidik Budhidharma dengan semua ilmu yang dikuasainya.

*** 002 ***

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 003

***BACK***

No comments:

Post a Comment